Peninggalan
di desa Brokoh sebuah arca orang naik gajah, empat buah umpak, sebuah arca
manusia dan kapak-kapak Neolitik.
-Situs
Silurah.
Gambar :
peninggalan Ganesa di situs Silurah
Peninggalan
didaerah Silurah diantaranya Ganesa dengan ukuran besar, patung Siwa tanpa
kepala, lingga dan yoni. Selain itu ada bekas bangunan reruntuhan candi.
Peninggalan
benda-benda perhiasan dari emas di Warungasem (dekat desa Masin/wura-wari)
Prasasti
Canggal sebagai bukti sejarah Indonesia yang dibuat pada tahun 732 M atas
perintah Raja Sanjaya menyebutkan bahwa “di Pulau Jawa yang masyhur ada seorang
raja bernama Sanna”. Sanna yang agung atau “Mahasanna” kemudian berubah menjadi
Mahasin dan orang sekarang menyebutnya dengan Masin, adalah sebuah desa di
Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang.Tersebutlah kerajaan Mahasin dengan
rajanya Senna yang memerintah rakyatnya dengan adil dalam waktu yang lama. Pada
tahun 684 M Mahasin digempur oleh Sriwijaya. Senna bersama dengan putra
mahkotanya lari kearah selatan mendirikan padepokan di Desa Silurah, ditandai
dengan adanya situs misterius dengan patung Ganesya dan peninggalan
purbakala bercorak Hindu lainnya,
sedangkan Sanjaya sebagai putra mahkota diungsikan ke selatan di kaki gunung
Merapi.
(http://www.batangkab.go.id/pariwisata/Sejarah_Batang.htm)
d) Peninggalan sejarah didaerah situs
Selopajang dan sekitarnya.
- Peningalan di Selopajang yaitu : arca
manusia, 8 buah arca Nandi, sebuah prasada, sebuah padmasana, dua buah Yoni,
batu-batu bekas bangunan, pecahan-pecahan kramik, sebuah arca Ganesa, sebuah
arca Siwa maha guru.
- Peninggalan purbakala didesa Selokarto yaitu
: benda-benda prasejarah kapak Neolitik, kramik, batu bekas bangunan
Hinduistis.
- Peninggalan sejarah didesa pecalungan yaitu:
bekas pondasi, sebuah Yoni dan batu bekas bangunan.
- Peninggalan sejarah didesa Tumbrep yaitu :
batu-batu bekas bangunan, sebuah arca Nandi, dan lingga.
Penyebaran
peninggalan situs sejarah dalam lingkungan wilayah Selopajang tersebut terletak
+ 2-4 KM dekat dengan prasasti Banjaran dan Indrokilo. Dari peninggalan
prehistoris, kiranya dapat disimpulkan telah adanya suatu masyarakat yang
tertata dan berpusat di daerah Selopajang sebelum datang pengaruh kebudayaan
Hindu yang selambat-lambatnya dalam abad 7 telah sampai disana. (Oemar, 1995 :
65).
e) Peninggalan sejarah di daerah situs Bawang
- Peninggalan
didesa Candi Gugur yaitu : sebuah padmasana, arca Nandi, sebuah Jaladwara dan
sebuah Lingga.
- Peninggalan
di Kepyar yaitu batu bekas candi, sebuah relief Kala, dan bangunan candi kecil.
- Peninggalan
di desa Cepit yaitu arca manusia setinggi 75 cm, arca Nandi, Lingga-Yoni, batu
bekas pondasi suatu bangunan dan sebuah relief Kala.
Bawang
terletak di sebelah utara Dieng dan merupakan daerah yang berdekatan dengan
Dieng, dapat diperkirakan bahwa dulu merupakan tempar lalu lintas orang-orang
menuju Dieng. Jalan Budha yang dalam tradisi dipandang sebagai jalan yang
dilalui para peziarah Dieng, bekas-bekasnya ditemukan didaerah Bawang. Tidak
heran jika di Bawang terdapat sejumlah peninggalan purbakala.
Dari peninggalan
di Kepyar dengan jelas dapat diketahui bahwa didaerah itu dahulu pernah
terdapat suatu bangunan candi. Arca Kala Kepyar cukup menarik perhatian berbeda
dengan arca Kala pada umumnya, misalnya arca Kala di Dieng, Borobudur dan
Prambanan, Kala di Kepyar mempunyai bingkai atas yang jelas, begitu pula
lidahnya tampak jelas lukisannya atau pahatan perhiasannya halus.
Moh. Oemar
menggambarkan adanya bentuk campuran dalam gaya seni Kala Kepyar (mirip Kala
dari Campa dan arca Singa dari Gandara), serta bentuknya yang agak berbeda
dengan arca Kala di Jawa Tengah bagian selatan, besar kemungkinan merupakan
bentuk baru dari anasir seni baru yang dating dari luar Jawa. Pengaruh anasir
asing tersebut menurut E. B. Volger terjadi antara pertengahan abad ke-9 hingga
lebih kurang tahunm 927 M.(Oemar, 1995 : 66).
f) Peninggalan sejarah di daerah situs
Blado
Peninggalan
purbakala di dukuh Kepokoh desa Blado yaitu prasasti Blado (Kepokoh), dan
Lingga yoni
Gambar :
peninggalan situs Blado dari desa Kepokoh (sumber : Dokumen pribadi)
Terdapatnya
peninggalan prasasti di daerah Blado memperkuat bahwa daerah ini mempunyai
pengaruh adanya kerajaan yang ikut andil dalam wilayah di sekitar Batang.
Apabila pembaca prasasti ini betul isi pokoknya berkaitan dengan dana atau semacam
sedekah (persembahan) yang diberikan seorang raja kepada suatu daerah atau
kepada bangunan suci. Pada baris ke 5 tersebut kata sima (daerah perdikan) atau
siwi (persembahan, pengabdian).
E. Tinjauan Historis Wilayah Batang
Batang
adalah sebuah kabupaten di pantai utara Jawa Tengah. Kabupaten Batang dan
sekitarnya dalam sejarah Indonesia kuno masih merupkan daerah belum banyak
dikenal umum padahal didaerah Batang mempunyai letak yang strategis bila
dilihat dengan kacamata pandangan histories, daerah tersebut sangat
mencurigakan. Bagaimanapun daerah Batang kuno pasti sudah mempunyai kebudayaan
walaupun dari tingkat yang sederhana. Posisi geografis serta keadaan
geomorfologi Kabupaten Batang mengundang
pemikiran bahwa sejak dahulu jaman kuno daerah Batang sudah dipilih
orang untuk dihuni karena mempunyai posisi menyelenggarakan kehidupan. Selain
itu daerah tersebut besar sekali kemungkinan untuk mengadakan kontak dengan
daerah lain atau luar (Oemar, 1995 : 58).
Berdasarkan
pendapat dari ahli-ahli sejarah Dr. N. J. Krom Schruke, Orsay de Elines,
Dorris, Brummunk, Buchari, Suyatmi Satari, dan masih banyak lagi maka daerah
pantai utara Jawa Tengah merupakan daerah Kerajaan Hindu sejak abad ke-V
(Kabupaten Batang, 1993 : 79).
Prasasti
Pengilon di kabupaten Batang, di ungkap dalam surat kabar Wawasan tanggal 29
Agustus 2006 yaitu
“Kabupaten
Batang ternyata memiliki berbagai peninggalan kuna yang mengandung nilai
sejarah. Selain Patung Ganesha yang terletak di Desa Silurah, Kecamatan
Wonotunggal yang diyakini merupakan peninggalan kerajaan pada zaman Agama
Hindu-Buddha, juga terdapat sebuah prasasti batu yang dikenal dengan sebutan
Prasasti Batu Pengilon. Prasasti batu tersebut berada di areal persawahan milik
penduduk Dukuh Kepokoh, Desa Blado, Kecamatan Blado.
Dinamakan
Batu Pengilon, menurut Kasmad, salah satu tokoh masyarakat Dukuh Kepokoh,
karena batu tersebut memang dulunya ada kaca yang menempel di batu tersebut.
Konon ceritanya, kaca tersebut sering dipakai untuk berhias diri.
Kasmad
menambahkan, prasasti batu itu sekarang terletak di areal persawahan milik
Sayid. Oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Batang, prasasti batu yang diyakini
memiliki kaitan sejarah itu sekarang dibuat permanen dengan di pagar keliling.”
Kabupaten
Batang memiliki keanekaragaman bentuk peninggalan masa lalu dan kuno yang
penyebarannya meliputi seluruh yang ada di sekitar Batang. Peninggalan dari
hasil temuan arkologi dan temuan masyarakat sekitar mempunyai keunikan dan
merupakan peninggalan masa lampau yang sebagai bukti bahwa daerah ini
berpenghuni yang berbudaya. Tim penyusun sejarah Batang (1993 : 76) menyebutkan
data-data maupun temuan benda-benda pada era pra-historis memang tidak begitu
banyak seperti halnya temuan benda-benda peninggalan zaman klasik atau Hindu,
yang dapat dibilang tersebar diseluruh wilayah Batang. Dengan ditemukan
beberapa peninggalan benda-benda kultur Megalitik seperti Punde, Menhir, dan
artefak-artefak, kereweng-kereweng lokal, dan terakhir ditemukannya pecahan
Nekara dari desa Siberuk Subah, ini sudah dapat membuktikan bahwa pada zaman
itu daerah Batang telah dihuni oleh manusia yang berbudaya dengan segala
kegiatan-kegiatan dalam memenuhi hajat hidup.
Hasil surve
tahun 1975-1976 oleh pusat Arkeologi Nasional di Pekalongan, Batang, dan Kendal
banyak mendapatkan hasil temuan baru yang tersebar dari tepi pantai laut Jawa
sampai kepuncak pegunungan yang berupa prasasti, runtuhan candi, pondasi
bangunan-bangunan klasik, patung dan lingga yoni. Penemuan benda-benda tersebut
menyebar di seluruh wilayah Kabupaten Batang.
Pengaruh
kebudayaan Hindu sampai di daerah Batang karena merupakan pengaruh dari
kebudayaan luar yang menyebar akhirnya datang ke daerah Batang. Pengaruh ini
muncul karena daerah Batang merupakan jalur strategis menuju daerah pedalaman
daerah Jawa Tengah.
Tinjauan
histories oleh Moh. Oemar dalam Lustrum VII IKIP Semarang (1995 : 69-74)
mengenai kerakatan dan tinjauan Historis wilayah situs Batang Kuno menyebutkan
penggambaran daerah persebaran benda di situs Batang sangat mempunyai nilai
Historis. Penelitian Moh. Oemar itu yaitu dijelaskan sebagai berikut sesuai
gambaran sejarah yang di tulis dalam lustrum :
Karekaan
daerah Tersono
Daerah
Tersono, seperti telah di kemukakan, berada di sebelah tenggara daerah
Kabupaten Batang. Dengan wilayah Kecamatan Limpung, keduanya merupakan
kesatuana, yakni terletak di antara kedua pegunungan (Roben dan Kedang) dengan
sungai-sungai yang tidak sedikit. Kenyatan itu menyebabkan daerah tersebut
subur sejak dulu kala.
Sebagai
daerah pedalaman lembah Tersono tidak
begitu jauh dari laut. Antara lembah Tersono dengan Gringsing (Bendasari)
terletak sugai Kuto. Ini berarti, sebagai daerah pedalaman Tersono tidak
tertutup terhadap kemungkinan hubungan yang lancer dengan luar. Dengan meliahat
kondisi geografisnya, tidaklah mengherankan apabila di daerah itu pernah
berkembang suatu kerakaan. Ditunjukan daerah itu sebagai daerah kademangan oleh
Susuhan barangkali tidak hanya didorong
oleh faktor-faktor sosial ekonomi, melainkan juga faktor histories. Analisis
Schrieke mengenai sebab kedudukan
keraton Mataram Islam serta pergeserannya yang selalu berada di lingkugan atau
disekitar daerah Surakarta, dapat sebagai bahan pertimbangan. Dengan menilik
kemugkinan kejadian dalam lingkungan kerajaan Mataram, pemilihan Tersono
sebagai kademangan barangkali karena daerah itu pernah berdiri suatu kerakaan.
Peninggalan purbakala disana adalah bukti kuat dari kerakaan Tersono.
Pusat
kerakaan barangkali terletak di Pejambon, yang menurut tradisi dikenal sebagai
pusat kademangan. Pejambon terletak 1,5 km sebelah selatan Pejaten, tempat
ditemukannya peninggalan purbakala. Dalam pertumbuhannya kerakaan Tersono
mungkin dapat menguasai lembah Tersono-Limpung hingga Bendasari yang terletak
di muara sungai Kuto. Penguasaan atas Bendansari adalah penting sekali karena
merupakan tempat paling mudah untuk mengadakan hubungan dengan luar. Penguasan
atas Bendansari oleh kerakaan Tersono tidaklah terlalu sulit. Tersono sebagai
kerakaan argraris dengan daerahnya yang subur, cukup kaya baik di bidang
ekonomi maupun tenaga manusia.
Bendansari
tentunya merupakan suatu”Marbour principality” yang barangkali tumbuh dari
perkampungan nelayan. Letaknya di muara sungai Kuto, telah memberikan
keuntungan dibidang perdagangan barang-barang dari daerah pedalaman. Selain
dari pada itu, mata air Balaikambang tampaknya merupakan daya penarik bagi
perahu-perahu untuk mengambil air tawar di tepi laut ada penting sekali,
sehingga timbulnya pujian terhadapnya yang digurutkan dalam prasasti tidaklah
mengherankan. Menurut penelitian, prasasti Bendansari berisi pujian terhadap
mata air tersebut.
Di atas
dikemukakan mengenai suatu kemungkinan dikuasainya Bendansari oleh kerakaan
Tersono. Penguasaan Bendansari oleh kerakaan Tersono penting sifatnya guna
memperlancar hubungan dengan luar. Telah dilangsungkan hubungan perdagangan
dengan luar negeri (India maupun Tiongkok) dapat diketahui dari berbagai
faktor. Pertama, pengaruh Hindu telah sampai di daerah itu selambat-lambatnya
abad VII M. (bagaimana juga para pedagang adalah pionir yang membina hubungan
antara kepulauan Indonesia dengan India). Kedua, tradisi di desa Rejosari
mengenai sawah Pecinan dan sawah Si Klenteng. Tradisi ini, seperti kami duga,
mugkin menunjukkan adalah hubungan dengan Tiongkok, dalam arti ada
pedagang-pedagang Tionghoa yang sampai di Tersono pada zaman itu.
Sawah Si
Klenteng terletak di sebelah barat sawah tempat dijumpai peninggalan purbakala.
Si Klenteng yang barang kali merupakan bekas bangunan klenteng, serta letaknya
yang berdekatan dengan bangunan klenteng di sana berasal dari zaman kuno.
Petunjuk yang pasti mengenai hal itu tidak dijumpai, namun tradisi tentang
sawah Pecinan sebagai bekas perkampungan orang-orang Cina yang menurut tradisi
itu jauh lebih tua dari kademangan di Tersono, tampaknya menang menunjukan
hubungan antara si klenteng dengan Pecinan dan orang-orang Tionghoa telah
sampai disana pada Zaman kerakaan Tersono.
Sawah Pecina
terletak di dekat sawah Pejambon yang kemugkinan sekali merupakan letak pusat
karekaan Tersono. Perkampungan pedagang asing yang tidak jauh dari pusat
pemerintahan mungkin sudah bisa pada zaman kuno maupun pada zaman berikutnya.
Dalam perkampungan orang-orang asing tersebut tetap hidup menurut
kebiasaan-kebiasaan di negerinya. Mereka memilih tempat di dekat keraton
mungkin atas dasar pertimbangan keamanan. Hubungan mereka dengan penguasa
tentunya hanyalah dalam segi ekonomi. Sebagaimana diketahui, perdagangan di
Indonesia pada waktu itu barada di tangan penguasa.
Adanya
perkampungan pedagang-pedagang asing di karekaan Tersono barangkali dapat di
terima mengigat letak yang strategis dalam lalu lintas (perdagangan) antara
daerah pedalaman (daerah Bawang, Dieng dan mungkin juga Selopajang) dengan
pantai utara (Bendasari). Karekaan Tersono dengan Bendasari merupakan pintu
gerbang terdekat bagi daerah Bawang dan Dieng untuk menuju pantai utara. Oleh
karena itu hubungan perdangangan antara pedalaman dengan pantai utara tentulah
melalui daerah Tersono. Di daerah Selopajang dan Selokerto, lebih-lebih di tempat
peninggalan purbakala, ditemukan pecahan-pecahan keramik dan pernah tergali
sejumlah benda-benda keramik seperti tempayan, piring dan mangkok.
Hal ini
menunjukkan adanya hubungan perdagangan dengan daerah pesisir. Hubungan itu
mungkin melalui Tersono dan benda-benda keramik diatas tentunya berasal dari
pedagang Tionghoa di sana. Dari Selopajang ke Tersono tidak begitu jauh,
melalui sungai Petung, dari Rejosari orang sampai di Selopajang ke Sojomerto.
Ini agaknya tersimpul dalam suatu tradisi di desa Banjaran dan sekitarnya yang
menyatakan bahwa jalan di sebelah timur Banjaran, yang menuju ke Sojomerto,
adalah bekas dari Bruklinting. Dugaan peranaan karekaan Tersono menuju Simbang
Klawen dan selanjutnya menuju Dieng mengikuti jalan Budha.
Teradisi
tersebut yang masih diragukan kebenarannya oleh Dr P.J. Veth, dengan
ditemukanya peninggalan purbakala di daerah Tersono, barangkali memang benar
adanya. “Onbelisl is het of de volagens de inlanders zeer eude weng die in
Pekalongan van Tersono naar Simbang Klawen vort, made tot de boddha-wegen
behoort” (PJ.Veth,1896:110).dari pusat karekaan Tersono ini baerangkali
kebudayaan Hindu memancar ke daerah pedalaman.
Dari
beberapa faktor yang dikemukakan, tidaklah terlalu sulit bagi karekaan Tersono
untuk tumbuh menjadi karekaan yang cukup kuat dan sanggup bertahan lama. Berita
Tiongkok mengenai negeri-negeri di lautan selatan, bukan tidak mungkin bila ada
yang meyinggung karekaan Tersono ini.
Pegunungan
Kendeng di sebelah selatan Rejosari tidak begitu jauh dari peninggalan
purbakala di Pejaten. Untuk mencapai puncak dari Pejambon atau Rejosari cukup
dalam waktu 30 menit. Dari puncaknya orang dapat melihat laut dengan jelas.
Dalam tradisi di desa Rejosari, antara lain diceritakan bahwa dari Pejambon
hingga pegunungan Kendeng dahulu kala terdapat jalan besar. Dengan mengingat
peristiwa-peristiwa itu histories yang mungkin terjadi di daerah Tersono,
barang kali pegunungan Kendeng ini dapat dipergunakan sebagai bahan penelitian
lokasi Lang-pi-Ya, yang tersebut dalam berita Tiongkok sebagai tempat yang
sering dikunjungi raja untuk melihat laut.
Karekaan di
daerah Bawang
Bawang
terletak di daerah Batang Tenggara dan merupakan perbatasan dengan wilayah
Kedu. Di bandingkan dengan daerah Selopajang atau Tersono, Bawang jauh lebih
tinggi, sekitar 900 m, di atas permukaan
laut. Oleh karena letaknya itu, Bawang memegang peranan penting sebagai
penghubung antara wilayah Dieng dan pedalaman Jawa Tengah dengan daerah pesisir
utara. Hal ini terbukti dengan ditemukannya bekas-bekas jalan Budha yang menuju
ke Dieng dan terus ke daerah Begalan.
Karekaan
Bawang berdasarkan peninggalan purbakala yang ada, tidak begitu jelas
pertumbuhannya apakah tumbuh sejajar dengan karekaan Selopajang dan Tersono,
atau baru timbul pada masa kemudian. Penelitian sementara terhadap peninggalan
kuno disana menujukkan bahwa di antara bangunan-bangunan tersebut mugkin
berasal dari abad ke-9 M. Ini berarti bahwa abad ke-9 M, itu terdapat karekaan
di daerah Bawang yang aktif melaksanakan pembangunan candi. Tampaknya karekaan
di sana dikembangkan dalam abad ke-9 M, dan merupakan suatu karekaan yang kuat
di daerah Batang.
Usia bagunan
kuno di Bawang relief dapat diketahui oleh karena ditemukannya relif-relif
Kala. Di antara kala-kala tersebut, kala dari Kepyar adalah agak menarik
perhatian sebab bentuknya agak berbeda dengan di tempat lain. Kala itu
mempunyai bingkai yang jelas dengan lidah menjulur tanpa di stylir. Kala dengan
bentuk bingkai dapat di jumpai antara lain di Candi Gedong Songo C, tetapi
bentuk kedua kala tersebut tidaklah sama benar. Lidah yang begitu jelas tidak
tampak dalam kala dari Candi Gedong Songo C. Pada umumnya lidah itu sudah
diubah polanya begitu rupa sehinga tidak begitu merupakan salah satu dari
bentuk anasir asing yang masuk ke Jawa dalam abad ke-9 M, sebagaimana diduga
oleh E.B. Voger menghubungkan timbulnya anasir asing itu dengan terbitnya
prasasti Gondosuli.
Bila mana
dugaan di atas itu benar, maka terdapatnya anasir asing di daerah Bawang adalah
cukup menarik perhatian sehubungan dengan terlihatnya perkembangan baru dalam
kehidupan politik di daerah pedalaman Jawa Tengah, menjelang pertengahan abad
ke-9 M. Pada masa tersebut timbul prasasti Gondosuli (Kedu Utara) yang
berbahasa Melayu kuno oleh De Casparis gejala tersebut dipandang sebagai kebangkitan
kembali Dinasti Sanjaya. Dari hal-hal diatas adalah mungkin bahwa dalam abad
ke-9 M, karekaan Bawang didominir oleh para petualang perang (warlike settlers)
dari luar jawa, yang mungkin mempuyai hubungan dengan Rakai Patapan. Masalah
tersebut menyangkut hubungan antara daerah Bawang dengan kekuasaan di daerah
pedalaman Jawa Tengah.
Pengaruh
Dinasti Sanjaya di Daerah Batang
Dari
peninggalan-peninggalan purbakala tersebut di atas, baik berupa prasasti, seni
bangunan maupun tradisi di daerah Batang, menimbulkan dugaan adanya pertalian
antara karekaan-karekaan di daerah Batang dengan daerah Dieng dan sekitarnya,
yang merupakan wilayah pengaruh kerajaan Mataram kuno.
Bangunan
candi di Dieng barangkali merupakan hasil karya karekaan-karekaan yang terdapat
di sekitar Dieng, termasuk karekaan di daerah Batang. Dieng tentunya tempat
suci bersama.
Terdapat
ikatan erat antara daerah Batang dengan Dieng dan ikut serta karekaan di sana
dalam pembangunan candi-candi di Dieng didukung oleh berbagi tradisi yang
tersebar di daerah Batang. Misalnya tradisi Dipikulnya dua lumpang dengan Dieng
(di desa Sidoarjo-Bawang), adanya mata air yang airnya berasal dari Dieng (di
desa Selokarto), gua yang menghubungkan daerah Selopajang dengan Dieng (di desa
Selopajang), batu yang digiring dari Rejosari ke Dieng (di Tersono), dsb.
Tanda-tanda
adanya ikatan politik antara daerah Batang dengan kekuasaan di daerah pedalaman
Jawa Tegah di sekitar pertengahan abad ke-9. Dalam pembicaraan mengenai
karekaan di daerah Bawang telah dikemukakan adanya gejala-gejala yang mungkin
menunjugkan adanya unsur-unsur asing yang sampai di Jawa Tengah di sekitar abad
ke-9.
Jogler
menghubungkan anasir asing terdapat di Candi Gedong Songo dengan Rakai Petapan
serta pertaliannya dengan Sanjayawangsa. Sementara itu De Casparis berpendapat
bahwa bahasa melayu kuno pada prasasti Gondosuli merupakan pertanda bangkitnya
kembali Sanjayawangsa karena memperoleh dukungan kelompok penguasa yang berasal
dari luar Jawa.
Apabila
dugaan adanya anasir asing pada peninggalan seni bangunan di daerah Bawang
tersebut di bangun oleh para pendatang dari luar jawa. Bilamana benar ada
penguasa asing dalam karekaan Bawang dan sesuai dengan penguasa di Gondosuli,
kemungkinan memang terdapat hubungan antara kekuasaan politik di wilayah
tersebut. Sejauh mana peranan daerah Bawang khususnya dan Batang umumnya dalam
pertikaian politik di pedalaman Jawa Tengah pada pertengahan abad ke IX
tersebut, masih perlu penelitian lebih mendalam.
Adanya
pengaruh dinasti Sanjaya di daerah Batang itu lebih jelas dengan ditemukannya
prasasti Indrokilo dari tahun 884 M. Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Rakai
Kayuwangi, yang antar lain berisi tentang pembelian tanah oleh permaisurinya
Rakai Kayuwangi.
Sesudah masa
Kayuwangi, dan dengan pindahnya pusat kekuasaan ke Jawa Timur, keadaan di
daerah Batang tidak jelas. Tetapi kemungkinan sekali disana tetap terdapat
karekaan-karekaan. Tradisi lokal mengenai berlangsungnya pertempuraan antara
kerajaan Karang Kobar serta adanya nama-nama desa seperti Wurawari (terdapat di
desa dengan nama tersebut) dan masih di daerah Batang nampaknya mendukung hipotesa
bahwa kerajaan Wurawari terletak di Jawa Tengah bagian barat dan wilayahnya
terbentang hingga daerah Batang.
B. Kesimpulan
Hasil
penelitian tersebut, sekali masih “summir” sifatnya, agaknya dapat juga memberi
daya terang kesejarahan kepada daerah Batang di bagian utara Jawa Tengah yang
selama ini belum tergambar dalam kanvas Sejarah Indonesia Kuno. Penelitian ini
dapat digunakan dalam dunia pendidikan sebagai perkenalan sejarah daerah Batang
untuk sebagai alternatif sumber media pembelajaran sejarah perkembangan
Hindu-Budha di Indonesia dan khususnya Batang.
Dengan
demikian dalam batasan-batasan tertentu diharapkan hasil penelitian ini akan
menyediakan peluang bagi para ahli yang berminat untuk melakukan penelitian
yang lebih luas dan mendalam atas daerah tersebut untuk mengagkat Batang dan
daerah pesisir utara Jawa Tengah umumnya ke dalam percaturan Sejarah Indonesia
Kuno.
Sebagai
kesimpulan, penelitian ini menyajikan pendapat:
a. Berkat ditemukanya benda-benda sejarah
yang beragam-ragam pada waktu akhir-akhir ini, di daerah Batang sekitarnya,
cukuplah alesan utama menduga bahwa sesungguhnya di daerah tersebut pada masa
sebelum, semasa dan sesudah Zaman Mataram Kuno sudah merupakan tempat pemukiman
manusia yang terkait dalam intuisi masyarakat yang teratur. Sungai-sungai,
lembah-lembah yang subur dan letaknya yang berpegunugan dan memangku lautan
bukanlah alasan yang mustahil untuk menggunakan dugaan tersebut di atas.
b. Dari beberapa keterangan yang terdapat
pada prasasti-prasasti yang akhir-akhir ini diketemukan di daerah tersebut,
seperti prasasti Sojomerto, indrokilo, dsb. Dapat ditarik kesimpulan bahwa
daerah Batang jelas mempunyai kontak dengan daerah-daerah di sebelah selatan
pegunungan yang merupakan pengaruh dari kerajaan Mataram Kuno. Bahkan mungkin
beberapa tempat/desa di daerah tersebut dahulu pernah menjadi pusat “kerajaan”
yang penting yang pernah disebut-sebut dalam bagian lain dalam sejarah kuno,
antara lain Masin dan Worawari.
c. Sebagai daerah yang mempuyai masyarakat
yang “hidup”, Batang mempunyai kontak dengan daerah luar Jawa lewat
perdagangan. Dugaan ini dikuatkan antara lain oleh letak/ posisi geografisnya
dan ditemukannya banyak benda-benda keramik Cina dari bermacam-macam abad,
mulai abad X sampai abad XV. Bukti-bukti lain seperti “tangga Budha” di daerah
kecamatan Bawang lebih memperkuat dugaan bahwa Batang merupakan “pintu gerbang”
masuknya agama dan kebudayaan Hindu ke bagian selatan Jawa Tengah.
d. Melihat keadaan alamnya yang banyak
dialiri air oleh sungai-sungai kecil dengan verval yang cukup baik dan melandai
dari arah selatan ke utara kuatlah dugaan bahwa daerah Batang benar-benar
wilayah yang ideal untuk mengembangkan kehidupan bertani dengan system sawah
basah. Dengan demikian, mengikuti logika Van Naerssen daerah tersebut dapat di
duga sebagai wilayah awal dari pertumbuhan institusi kerakaan dalam tata
kehidupan masyarakat para Hindu yang sangat penting kedudukannya dalam proses
peralihan ke zaman pengarah Hindu .
e. Setelah surutnya kekuasaan Sanjaya dan
Syilendra di Jawa Tengah daerah Batang rupanya tidak ikut ”mati”, masyarakat di
daerah tersebut tetap berkembang terus dengan serba masalahnya dan merupakan
mata rantai dengan zaman berikutnya.
Demikian
secara garis besar keadaan daerah Batang dan sekitarnya pada masa kuno yang
seyogyanya mendapat peninjauan histories secara lebih insentif.
Mari belajar
sejarah melalui situs Batang kuno guna menciptakan pembelajaran sejarah yang
baik bermutu, dan sebagai generasi penerus berpikir historis menapak peristiwa
masa lalu sebagai pembelajaran masa sekarang agar lebih baik lagi. Dengan
kemampuan tersebut, kita akan mendapat pelajaran bahwa kebudayaan bangsa
Indonesia, khususnya wilayah Kabupaten Batang itu sudah tinggi. Kebudayaan itu
perlu kita jaga dan lestarikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen
Pendidikan dan Kebudayan Batang. 1993/1994. Sejarah Batang Suatu Pendahuluan.
Batang : Sekertariat daerah Kabupaten Batang.
Depdikbud.
1976/1977. Sejarah Daerah Jawa Tengah. Semarang : Depdikbud.
Oemar, Moh.
. 1995. ‘Sejarah Batang Kuno dan Sekitarnya Studi Wilayah Sejarah Lama’.
Lembaran Ilmu Pengetahuan Khusus In Memoriam Lustrum VI IKIP Semarang. Semarang
: UPT IKIP Press.
Satari,
Soejatmi dkk. 1977. Laporan Hasil Surve Kepurbakalaan di daerah Jawa Tengah
Bagian Utara Kabupaten Pekalongan, Batang dan Kendal, Nomer 9. Jakarta : PT.
Rora Karya.
Siswanto,
Ady. 1986. Data Arsitektur Tradisional Batang. Batang : Depdiknas.
Suhadi,
Machi dan MM. Soekarto. 1986. Laporan Epigrafi Jawa Tengah, Nomer 37. Jakarta :
CV. Solidaritas Jaya.
Internet
Arsip
artikel kabupaten Batang. Dalam http://www.batangkab.go.id/headline/0608.htm
(Data tanggal 3 Maret 2007, pukul 22.07 WIB).
Sejarah
Batang dan Munculnya Pemerintah Kabupaten Batang. Dalam.
http://www.batangkab.go.id/profile/sejarah.htm (Data tanggal 3 Maret 2007,
pukul 23.15 WIB).
Wisata
budaya. Dalam http://www.batangkab.go.id/pariwisata/Sejarah_Batang.htm (Data
tanggal 3 Maret 2007, pukul 23.20 WIB).
Media massa
Koran
Wawasan, tanggal terbit 29 Agustus 2006.
Koran
Wawasan, tanggal terbit 31 Agustus 2006.
Koran Suara
Merdeka, tanggal terbit 19 Agustus 2006.
TERIMAKASIH
SUMBER REFERENSI : http://butukbuwangalhafizh.blogspot.co.id