28 February 2018

Jejak Raja Syalindra di Kabupaten Batang Jawa Tengah


Situs Syailendra Keanekaragaman bentuk peninggalan masa lalu di wilayah batang telah menunjukkan adanya dinamika masyarakat dan lentur terhadap proses perubahan yang terjadi oleh pengaruh-pengaruh budaya luar. Dan melihat bentuk-bentuk peninggalan megalitik itu, menunjukkan bahwa mereka telah mengenal teknologi. Selain itu pembudidayaan hewan dan tanaman telah dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sistem upacara



PRASASTI SOJOMERTO



Prasasti Sojomerto, ditemukan di desa Sojomerto Kecamatan Reban Kabupaten Batang Jawa Tengah, dibuat kira-kira pada abad ke VII atas perintah Syailendra, seorang raja dari Kerajaan Sriwijaya yang menyerang Pulau Jawa tahun 684 M.

Prasasti tersebut dibuat dari batu andesit dengan panjang 43 cm, tebal 7 cm, dan tinggi 78 cm. Tulisan Jawa Kuna dipahatkan pada permukaan yang rata, terdiri atas 11 baris yang sebagian barisnya rusak terkikis usia.

Bunyi tulisan tersebut antara lain :

Sembah kepada Dhewa Syiwa Bathara Paramecwara dan semua Dhewa-dhewa. Saya hormat kepada "Hiya Mih" adalah yang mulia Dhapunta Syailendra, Santanu adalah nama ayahnya Badhrawati adalah nama ibunya, Sampura adalah nama istrinda dari yang mulia Syailendra.

Prasasti Sojomerto ini lebih tua dari prasasti Canggal yang dibuat atas perintah Sanjaya pada tahun 732 M. Menurut sejarah Indonesia, Syailendra adalah seorang raja yang keturunannya kawin dengan keturunan wangsa Sanjaya yang selanjutnya menurunkan raja-raja Jawa Tengah dan Jawa Timur

SITUS SILURAH


Prasasti Canggal sebagai bukti sejarah Indonesia yang dibuat pada tahun 732 M atas perintah Raja  Sanjaya menyebutkan bahwa "di Pulau Jawa yang masyhur ada seorang raja bernama Sanna".  Sanna yang agung atau "Mahasanna" kemudian berubah menjadi Mahasin dan orang sekarang menyebutnya dengan Masin, adalah sebuah desa di Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang.

Apakah diwilayah ini dahulu kerajaan Mahasin berada ?.

Tersebutlah kerajaan Mahasin dengan rajanya Senna yang memerintah rakyatnya dengan adil dalam waktu yang lama. Pada tahun 684 M Mahasin digempur oleh Sriwijaya. Senna bersama dengan putra mahkotanya lari kearah selatan mendirikan padepokan di Desa Silurah, ditandai dengan adanya situs misterius dengan patung Ganesya dan peninggalan purbakala  bercorak Hindu lainnya, sedangkan Sanjaya sebagai putra mahkota diungsikan ke selatan di kaki gunung Merapi. Sebagai tempat pelarian, sampai sekarang situs Silurah ini masih berbau mistis yang menyatakan bahwa pegawai pemerintah dilarang mendekati wilayah tersebut. Disamping patung Ganesya yang terletak di lembah pertemuan antara sungai Retno dengan sungai Semilir, masih banyak peninggalan purbakala di Desa Silurah Kecamatan Wonotunggal ini, seperti lingga dan yoni sebagai lambang kesuburan serta umpak berundak bekas reruntuhan candi.

Sumber: https://www.batangkab.go.id/index.php?nav=com_menu&id=5



SEJARAH BATIK BATANG


SEJARAH PERKEMBANGAN KERAJINAN BATIK DI TINJAU DARI SOSIAL BUDAYA DI KABUPATEN BATANG TAHUN 1968-1973

Batik Rifaiyah batang


Kerajinan batik Batang merupakan salah satu apresiasi budaya masyarakat Batang yang juga sedikit banyak dipengaruhi oleh batik tulis Pekalongan dan juga batik pesisiran. Batik merupakan hasil budaya bangsa Indonesia. Motif-motifnya merupakan perkembangan dari paduan berbagai pengaruh dari kebudayaan lain. Unsur keindahan pada motif, corak dan warna batik mengalami perubahan sesuai dengan jamannya. Dalam pertumbuhan dan perkembangan motif-motifnya didukung oleh adanya faktor-faktor yang mempengaruhinya yaitu faktor letak geografis Batang yang berada pada pesisir pantai utara (Pantura) pulau Jawa. Faktor geografis mempengaruhi pola pikir pada masyarakatnya karena adanya kedatangan para pendatang yang membawa perubahan sehingga menjadikan motif-motif dan warna pada Batik Batang menjadi beragam. 

Batik Rifaiyah


Penelitian ini mengangkat permasalahan yaitu: 1) Bagaimana sejarah Batik di Kabupaten Batang, 2) pengaruh morif batik dari daerah lain terhadap motif batik Batang, 3) Bagaimana pengaruh kerajinan batik terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat di Kabupaten Batang dari tahun 1968 sampai tahun 1973. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah 1) Untuk mengetahui sejarah perkembangan batik di Batang, 2) Untuk mengetahui pengaruh motif batik dari daerah lain mempengaruhi kerajinan batik Batang, 3) Untuk mengetahui bagaimana pengaruh kerajinan batik terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat di Kabupaten Batang dari tahun 1968 sampai tahun 1973. Dalam penelitian ini metode yang digunakan penulis adalah 1) Heuristik yang menyangkut studi pustaka, observasi, wawancara; 2) Kritik Sumber yang menyangkut kritik intern dan kritik ekstern; 3) Interprestasi dan 4) Historiografi. Kabupaten Batang lepas dari Kabupaten Pekalongan pada tahun 1965. Sejarah batik Batang ada sejak masyarakat pada umumnya mengenal budaya batik. Namun demikian ditinjau dari segi motif dan histories, batik batang sudah ada sejak jaman Kerajaan Hindu-Budha di Jawa. Perkembangan Batang disebut sebagai produsen batik cukup beralasan, meskipun tidak setenar kota-kota lain yang sudah legendaris. Dikenalnya motif batik Kluwung dari Batang dapat menjadi bukti bahwa Batang juga sebagai daerah penghasil batik. Motif batik Batang tidak jauh berbeda dengan motif batik dikota-kota lain. Berawal dari motif batik Gringsing yang merupakan cikal bakal batik Batang, kemudian ragam hias yang pengaruhnya dari batik pedalaman dan batik pesisir. Motif seterusnya yang mempengaruhi batik Batang yatiu motif Cemplokan, padmashaba, kawung, dan parang. Para pengrajin batik Batang dalam menciptakan rancangan motif-motifnya tidak lepas dari kebudayaan atau adat istiadat. Pada awal tahun 1966 sudah mulai ada batik cap, kemudian pada tahun 1968 batik menjadi trend di kalangan bangsawan dan priyayi sehingga mengakibatkan terbentuknya stratifikasi sosial dalam masyarakat Batang pada saat itu.


Sumber : http://lib.unnes.ac.id/2047

26 February 2018

Kisah Ulama Syech Tholabuddin Desa Masin

Kisah Ulama Syech Tholabuddin Penyebar Agama Islam Dan Pejuang Melawan Belanda


Makam Syech Tholabuddin terletak di dukuh Pekuncen atau tepatnya di areal pemakaman dekat Kantor Desa Masin Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang. Setiap bulan Sya'ban masyarakat setempat selalu memperingati haul nya.
Diceritakan oleh salah satu tokoh masyarakat sekaligus peneliti sejarah Syech Tholabuddin, KH Amshori, Syech Tholabuddin bermukim di Masin pada Periode Mataram Islam.
"Nama aslinya tidak pernah dibawa. Kalau di beberapa tulisan, nama-namanya itu sebenarnya dilebih-lebihkan, tidak ada bukti sejarahnya," ucap KH Amshori.
Dijelaskan, bahwa para ulama dan wali jaman dulu memang jarang membawa nama aslinya. Sebagain besar penamaan dikarenakan kondisi lingkungan dan daerah masing-masing.
"Seperti untuk mbah Tholabuddin, berasal dari kata Jawa telo budin, kalau dulu telo disamakan dengan orang yang bodoh. Dengan maksud mbah Tholabuddin bermaksud merendahkan diri dihadapan masya rakat," terangnya.
"Sedang kalau istilah Arab nya Tholabuddin,  orang yang mempentingkan kepentingan agama (Islam)," lanjut KH Amshori kepada koran saat ditemui di rumahnya Desa Candiareng tempatnya sekarang.
Dijelaskan lebih lanjut, masuknya ulama Islam di Batang Pekalongan dan sekitarnya, dulu seiring didirikannya pemerintahan pertama dulu. Yang berpusat di Batang, dengan pimpinan Ki Ageng Pekalongan, menjelang perang Mataram pertama. Namun masih mengnginduk ke Kaliwungu, yang dulu dijuluki Mataram Kendal, karena tempatnya kumpulnya Wali.
Adanya pemerintahan atas perintah Sultan Agung juga diikuti masuknya Wali dibawah pimpinan Mbah Baurekso. Dengan penasehat Kyai Agung Cempaluk, mbah Syech Kramat Pasekaran, Syceh Jambukarang dan pasukan perang yang dipimpin Mbah Gede Petanasangin (pasukan khusus). Sedangkan Syech Tholabuddin sendiri datang dimasa perang mataram kedua, setelah masa Mbah Baurekso.


Kedatangan Syech Tholabuddin juga beserta saudaranya, Mbah Dalabuddin dan Akrobuddin. Mbah Dalabuddin, kini dimakam di Dracik Kota Batang. Adik Syech Tholabuudin ini dikenal dengan kharomnya ilmu pemerintahan. Salah satu keturuannya adalah Santoso, yang pernah menjabat sebagai Wakil Bupati Batang 20 tahun lalu.
Sedang saudara lainnya, Akrobuddin,  kakaknya di makamkan di Desa Kaliyoso Cepiring Kendal. Peninggalan karomahnya, di masjid Jami ada 4 soko, jika dilihat miring berarti jiwanya sedang tidak baik.
 "Mbah Akrobuddi juga menjadi donatur saat perang Mataram Islam melawan VOC, sampai dirinya dijuluki Utsman bin Afan Jawa," terangnya.
Sedang Syech Tholabuudin sendiri diberi kharomah atau kelebihan ke ilmu Syariat tapi juga cukup memiiki harta yang cukup. Salah satu bukti sejarahnya, bisa mengislamkan Mbah Gono. Yang mana di jamannya dikenal sebagai tokoh Umat Hindu. Bahkan akhirnya mbah Gono juga menjadi salah satu muridnya sebagai ulama di Masin.
Karomahnya yang lain, pernah pada suatu saat Kyai Senari Cepiring sekitar tahun 1980 an berziarah dengan jamaah di makam Tholabuddin. Secara isyarat dipersilahkan jamaah mengambil uang di pojok makam, tempatnya dibawah gentong yang mana terlihat banyak sekali yang. Namun pada waktu itu, Kyai Senari tidak berkeinginan dalam urusan keduniaan, lebih mengutaman keberkahan dan jamaahnya juga mengamini.
Dari segi keilmuan, nasab ilmu Syech Tholabuddin belajar ke Kyai Asy'ari (Kyai Guru) di Kaliwungu Kendal, yang merupakan pendiri Masjid Jami Kaliwungu yang dimakamkan di Protomulyo Kaliwungu.
 "Sedang nasab ilmu ke Walisongo belajar dari ke Sunan Drajat, dan menyambung ke Sunan Ampel," jelasnya.
Bukti sejarah perjuanagn Syech Tholabuddin juga sering diperingati, setiap Maulud Nabi dengan menggelar Kirab Merah Putih. Yang merupakan simbol perjuangan rakyat Masin dipimpin Syech Tholabuddin mengusir penjajah dengan berjalan kaki ke Pekalongan. Karena di masanya, hanya Warungasem terutama Masin yang tidak bisa dimasuki penjajah, sehingga pasukan Masin diperbantukan ke Pekalongan.
Makanan yang menjadi kegemaran Syech Tholabuddin adalah sego liwet, lauk gereh perek dan sayur gandul. Ternyata tidak hanya sekedar makanan saja, karena memiiki makna filosofis yang cukup tingi.
Dari makna sego liwet, yang beruma nasi sangat matang berarti bahwa setap umat harus mematang kan syariat (Islamnya). Lauk gereh perek (ikan yang kepalanya besar, dagingnya dikit lebih banyak duri), degan filosofi setiap umat muslim setiap makan harus hati-hati, antara makan halal haram dan subhat. Juga harus hati-hati dengan urusan batin (ilmu santet) karena pada saat itu sangat banyak sekali.
Sedang kuluban (sayuran) godong gandol (daun pepaya), mengandung makna banyak wasilah (manfaatnya).
 "Sebagai masyarakat(saat itu)  lebih baik ngandul atau jadi makmun jangan ambisi jadi pemimpin. Karena ambisi jadi pemimpin tidak baik," terangnya.
Diceritakan karena pada saat itu, setelah Islam cukup kuat banyak orang yang mengaji di Wali Muria. Namun sekembalinya, semua pada berlomba-lomba ingin menjadi imam dan pemimpin masyarakat. Sehingga Syech Tholabuddin mengingatkan agar semua saling mengalah untuk kebaikan.

Sumber : https://www.pekalongan-news.com

Tradisi Khaul Syekh Kajoran dan Sejarah Masjid Kuno di Gringgingsari, Batang


BATANG - Tradisi Khaul Syeh Abdurrahman Kajoran yang digelar setiap 9-11 Syawal di Desa Gringgingsari Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang, dapat diibaratkan sebagai hari raya kedua setelah Idul Fitri bagi masyarakat Jawa Tengah dan sekitarnya.
Acara tersebut benar-benar dipersiapkan segala sesuatunya mirip dengan penyambutan hari besar seperti lebaran, terutama dalam menyambut ribuan tamu (pengunjung) dari berbagai daerah.
Ritual Khaul Sunan Kajoran sendiri, diisi dengan berbagai kegiatan seperti pembacaan manakib, berdoa di kompleks makam, dan puncaknya adalah pengajian akbar.
Adapun acara yang paling ditunggu-tunggu para jamaah atau pengunjung adalah pameran benda peninggalan tokoh tersebut, yang berupa sorban, tongkat, pakaian dan benda pusaka lain di kompleks masjid tua peninggalan wali yang masih Paman dari Sunan Gunung Jati itu.


Nama Syeh Abdurrahman Kajoran demikian melegenda dan terpatri dalam ingatan kolektif masyarakat setempat. Tokoh spiritual itu hidup pada abad ke-7 dan diyakini warga sebagai senopati yang "pilih tanding".
Namun sayangnya, pada setiap acara Khaul dari tahun ke tahun tidak diungkap secara jelas siapa sesungguhnya tokoh yang juga disebut sebagai Sunan Gringging tersebut.
Berdasarkan informasi yang diperoleh GoNews.co dari berbagai sumber termasuk para sesepuh desa tidak lah lengkap. Dimana data sejarah ketokohannya belum banyak terungkap, terutama kiprahnya dalam menyebarkan ajaran Islam.
Bahkan juru kunci makam, Mbah Thowaf, mengaku tidak tahu-menahu siapa sesungguhnya ulama itu. Dalam pengajian pun tidak disinggung soal riwayat hidupnya, semisal asal-usulnya, kapan, serta ajaran apa yang membekas di hati masyarakat.
Selama ini masyarakat hanya memahami dari sisi mitos dan legenda lewat cerita mulut ke mulut. Mitos dan legenda seputar kesaktian tokoh itu dipahami warga layaknya kebenaran sejarah.
Namun demikian, sejumlah lokasi yang dipercaya pernah menjadi petilasan hingga saat ini masih ada. Tempat atau lokasi petilasan sang Sunan Kajoran, saat ini dikeramatkan. Peninggalan tersebut seperti makam, sumber air atau yang dikenal dengan nama Sendang Depok, Sungai (yang diyakini bekas tongkat sang sunan), dan Masjid.
Selain itu juga ada beberap benda pusaka seperti sorban, tasbih, tongkat dan lainnya.
Sungai yang membelah Desa Gringgingsari misalnya, oleh sebagian warga dikeramatkan sedemikian rupa. Sungai ini punya makna khusus. Airnya digunakan warga untuk berbagai macam keperluan, namun ada pantangan yang tak boleh dilanggar.
Pantangan atau larangan tersebut, contohnya adalah, wanita yang menstruasi (haid,red)n dilarang mendekati. Mandi di sana adalah aib dan dianggap pelanggaran adat. Ada sanksi moral, minimal dicela dan dibenci warga. Mengotori sungai sama artinya mengotori niat suci orang yang membangun parit tersebut, yakni Sunan Gringging.
Menurut cerita, sungai tersebut dibangun dengan semangat spiritual dan filosofi mendalam. Bukan sekadar garukan tanah tempat mengalirnya air, melainkan di dalamnya menyimpan ajakan persuasif untuk berperilaku suci dan bersikap arif terhadap lingkungan.
Kearifan tersembunyi seperti kisah wali-wali lain di Jawa, Sunan Gringging berdakwah menggunakan pendekatan kultural. Dia tidak hanya berhenti pada kerja fisik (membangun parit) tetapi juga melengkapinya dengan membangun masjid sebagai simbol spiritual dan pusat aktivitas dakwah.
Maka sangat masuk akal jika sungai tersebut dibangun berdampingan dengan masjid, sehingga masyarakat berpikir ulang jika membuang kotoran ke sungai itu.
Sebagai masyarakat agraris, warga Gringgingsari hidup berdampingan dengan sungai, hutan, perbukitan, dan tentunya juga mata air.
Mereka hidup berdampingan dengan alam yang menyimpan kearifan tersembunyi. Parit dan sumber air menjadi metafora untuk menyampaikan pesan bahwa bersahabat dengan lingkungan demikian penting demi menjaga harmoni kehidupan. Menjaga dan merawat parit merupakan sebuah kepatuhan pada hukum-hukum tak tertulis yang diwariskan para pendahulu.
Warga Gringgingsari juga bisa belajar dari mitos dan benda peninggalan Mbah Wali berupa masjid tua, pancuran tempat wudu, tongkat, sorban, tasbih, dan lain-lain.
Mereka juga akrab dengan legenda seputar sepak terjang sang Sunan dalam menyebarkan ajaran Islam dan keberaniannya menghadapi lawan. Warga familiar dengan dongeng dramatikal seperti kisah Ki Lurah Ajar Pendek, tokoh sakti golongan hitam yang menghalangi perjuangan Syeh Abdurrahman.
Sampai sekarang cerita rakyat masih hidup dan terus dituturkan dari generasi ke generasi. Anak usia SD pun akrab dengan cerita di sekitar kampung halamannya.
Dalam masyarakat tradisional kadang ada konsep suci yang khas, bersifat lokalistik, dan tidak gampang dipahami hanya menggunakan logika, misalnya meyakni ada tempat, benda, dan nama khusus yang dianggap "berbahaya" jika dijamah sembarangan.
Sejarah Masjid Al Karomah, Peninggalan Sunan Kajoran
Masjid Al Karomah, adaLah Masjid kuno di Desa Gringgingsari yang pertama kalinya didirikan, Syekh Abdurrahman Kajoran atau yang sering dikenal dengan nama Sunan Kajoran.
Menurut informasi yang didapat GoNews.co, proses pembuatan Masjid ini cukup lama dan berbentuk sangat sederhan.
Dulunya masjid ini masih berbentuk sederhana dan sangat tradisionaL. Rangkaian atapnya atau yang orang jawa bilang "Rangken", masih terbuat dari bambu, atapnya terbuat dari serabut kelapa dan ijuk.
Guna mengaitkan atap dan rangakainnya, Sunan Kajoran mengikatnya dengan tali yang terbuat dari "Penjalin" atau rotan. Sementara untuk tiang penyangganya masih terbuat dari kayu, dindingnya juga terbuat dari anyaman bambu dan kayu.
Sementara mustokonya (Kubah) masjid, menggunakan pengaron/paso (tempat air yang terbuat dari tanah Liat), dan lantainya masih berupa tanah.
Seiring berkembangan zaman, saat ini masjid tersebut sudah banyak dirombak dam menjadi masjid moderen.
Lokasinya pun termasuk mudah didapat, karena berada di tengah desa. Dan memiliki cirikhas terowongan, dimana halamanya menggunakan beton yang tepat diatas jalan desa.
Pemberian nama Al Karomah sendiri, merupakan ide dari Remaja Desa yang tergabung dalam (Remaja Masjid), pada tahun 1987 yang lalu. 

Sumber Referensi : https://www.goaceh.co

SUNAN KAJORAN


Beliau adalah penghulu basyaiban di indonesia selain Sayid Abdurahman (Mbah Sambu) Lasem Jawa Tengah. Beliau datang dari yaman menuju keraton cirebon dan menikah putri raja cirebon Syarifah Khadijah (Mbah Ratu Ayu Ibu) yang makamnya di Bangil Pasuran.
- Jalur Nasab: Sayid Abdurahman bin Muhammad bin Umar bin Abdullah bin Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Basyaiban
- Keturunannya:
Sayid Ahmad (makam di Buduran Sidoarjo),
Sayid Arief (makam di segoropuro pasuruan),
Sayid Sulaiman (makam di Mojoagung Jombang) dan
Sayid Abdullah yg wafat dlm usia muda (makam di Bangil Pasuruan).
Dzuriyah beliau banyak tersebar di Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Mojokerto, Malang, Jember, Magelang, Pekalongan.

Sumber : https://sites.google.com/site/pustakapejaten/manaqib-biografi/7ulama-nusantara/sunan-kajoran