BATANG -
Tradisi Khaul Syeh Abdurrahman Kajoran yang digelar setiap 9-11 Syawal di Desa
Gringgingsari Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang, dapat diibaratkan sebagai
hari raya kedua setelah Idul Fitri bagi masyarakat Jawa Tengah dan sekitarnya.
Acara
tersebut benar-benar dipersiapkan segala sesuatunya mirip dengan penyambutan
hari besar seperti lebaran, terutama dalam menyambut ribuan tamu (pengunjung)
dari berbagai daerah.
Ritual Khaul
Sunan Kajoran sendiri, diisi dengan berbagai kegiatan seperti pembacaan
manakib, berdoa di kompleks makam, dan puncaknya adalah pengajian akbar.
Adapun acara
yang paling ditunggu-tunggu para jamaah atau pengunjung adalah pameran benda
peninggalan tokoh tersebut, yang berupa sorban, tongkat, pakaian dan benda
pusaka lain di kompleks masjid tua peninggalan wali yang masih Paman dari Sunan
Gunung Jati itu.
Nama Syeh
Abdurrahman Kajoran demikian melegenda dan terpatri dalam ingatan kolektif
masyarakat setempat. Tokoh spiritual itu hidup pada abad ke-7 dan diyakini warga
sebagai senopati yang "pilih tanding".
Namun
sayangnya, pada setiap acara Khaul dari tahun ke tahun tidak diungkap secara
jelas siapa sesungguhnya tokoh yang juga disebut sebagai Sunan Gringging
tersebut.
Berdasarkan
informasi yang diperoleh GoNews.co dari berbagai sumber termasuk para sesepuh
desa tidak lah lengkap. Dimana data sejarah ketokohannya belum banyak
terungkap, terutama kiprahnya dalam menyebarkan ajaran Islam.
Bahkan juru
kunci makam, Mbah Thowaf, mengaku tidak tahu-menahu siapa sesungguhnya ulama
itu. Dalam pengajian pun tidak disinggung soal riwayat hidupnya, semisal
asal-usulnya, kapan, serta ajaran apa yang membekas di hati masyarakat.
Selama ini
masyarakat hanya memahami dari sisi mitos dan legenda lewat cerita mulut ke
mulut. Mitos dan legenda seputar kesaktian tokoh itu dipahami warga layaknya
kebenaran sejarah.
Namun
demikian, sejumlah lokasi yang dipercaya pernah menjadi petilasan hingga saat
ini masih ada. Tempat atau lokasi petilasan sang Sunan Kajoran, saat ini
dikeramatkan. Peninggalan tersebut seperti makam, sumber air atau yang dikenal
dengan nama Sendang Depok, Sungai (yang diyakini bekas tongkat sang sunan), dan
Masjid.
Selain itu
juga ada beberap benda pusaka seperti sorban, tasbih, tongkat dan lainnya.
Sungai yang
membelah Desa Gringgingsari misalnya, oleh sebagian warga dikeramatkan
sedemikian rupa. Sungai ini punya makna khusus. Airnya digunakan warga untuk
berbagai macam keperluan, namun ada pantangan yang tak boleh dilanggar.
Pantangan
atau larangan tersebut, contohnya adalah, wanita yang menstruasi (haid,red)n
dilarang mendekati. Mandi di sana adalah aib dan dianggap pelanggaran adat. Ada
sanksi moral, minimal dicela dan dibenci warga. Mengotori sungai sama artinya
mengotori niat suci orang yang membangun parit tersebut, yakni Sunan Gringging.
Menurut
cerita, sungai tersebut dibangun dengan semangat spiritual dan filosofi
mendalam. Bukan sekadar garukan tanah tempat mengalirnya air, melainkan di
dalamnya menyimpan ajakan persuasif untuk berperilaku suci dan bersikap arif terhadap
lingkungan.
Kearifan
tersembunyi seperti kisah wali-wali lain di Jawa, Sunan Gringging berdakwah
menggunakan pendekatan kultural. Dia tidak hanya berhenti pada kerja fisik
(membangun parit) tetapi juga melengkapinya dengan membangun masjid sebagai simbol
spiritual dan pusat aktivitas dakwah.
Maka sangat
masuk akal jika sungai tersebut dibangun berdampingan dengan masjid, sehingga
masyarakat berpikir ulang jika membuang kotoran ke sungai itu.
Sebagai
masyarakat agraris, warga Gringgingsari hidup berdampingan dengan sungai,
hutan, perbukitan, dan tentunya juga mata air.
Mereka hidup
berdampingan dengan alam yang menyimpan kearifan tersembunyi. Parit dan sumber
air menjadi metafora untuk menyampaikan pesan bahwa bersahabat dengan
lingkungan demikian penting demi menjaga harmoni kehidupan. Menjaga dan merawat
parit merupakan sebuah kepatuhan pada hukum-hukum tak tertulis yang diwariskan
para pendahulu.
Warga
Gringgingsari juga bisa belajar dari mitos dan benda peninggalan Mbah Wali
berupa masjid tua, pancuran tempat wudu, tongkat, sorban, tasbih, dan
lain-lain.
Mereka juga
akrab dengan legenda seputar sepak terjang sang Sunan dalam menyebarkan ajaran
Islam dan keberaniannya menghadapi lawan. Warga familiar dengan dongeng
dramatikal seperti kisah Ki Lurah Ajar Pendek, tokoh sakti golongan hitam yang
menghalangi perjuangan Syeh Abdurrahman.
Sampai
sekarang cerita rakyat masih hidup dan terus dituturkan dari generasi ke
generasi. Anak usia SD pun akrab dengan cerita di sekitar kampung halamannya.
Dalam
masyarakat tradisional kadang ada konsep suci yang khas, bersifat lokalistik,
dan tidak gampang dipahami hanya menggunakan logika, misalnya meyakni ada
tempat, benda, dan nama khusus yang dianggap "berbahaya" jika dijamah
sembarangan.
Sejarah
Masjid Al Karomah, Peninggalan Sunan Kajoran
Masjid Al
Karomah, adaLah Masjid kuno di Desa Gringgingsari yang pertama kalinya
didirikan, Syekh Abdurrahman Kajoran atau yang sering dikenal dengan nama Sunan
Kajoran.
Menurut
informasi yang didapat GoNews.co, proses pembuatan Masjid ini cukup lama dan
berbentuk sangat sederhan.
Dulunya
masjid ini masih berbentuk sederhana dan sangat tradisionaL. Rangkaian atapnya
atau yang orang jawa bilang "Rangken", masih terbuat dari bambu,
atapnya terbuat dari serabut kelapa dan ijuk.
Guna mengaitkan
atap dan rangakainnya, Sunan Kajoran mengikatnya dengan tali yang terbuat dari
"Penjalin" atau rotan. Sementara untuk tiang penyangganya masih
terbuat dari kayu, dindingnya juga terbuat dari anyaman bambu dan kayu.
Sementara
mustokonya (Kubah) masjid, menggunakan pengaron/paso (tempat air yang terbuat
dari tanah Liat), dan lantainya masih berupa tanah.
Seiring
berkembangan zaman, saat ini masjid tersebut sudah banyak dirombak dam menjadi
masjid moderen.
Lokasinya
pun termasuk mudah didapat, karena berada di tengah desa. Dan memiliki cirikhas
terowongan, dimana halamanya menggunakan beton yang tepat diatas jalan desa.
Pemberian
nama Al Karomah sendiri, merupakan ide dari Remaja Desa yang tergabung dalam
(Remaja Masjid), pada tahun 1987 yang lalu.
SUNAN
KAJORAN
Beliau
adalah penghulu basyaiban di indonesia selain Sayid Abdurahman (Mbah Sambu)
Lasem Jawa Tengah. Beliau datang dari yaman menuju keraton cirebon dan menikah
putri raja cirebon Syarifah Khadijah (Mbah Ratu Ayu Ibu) yang makamnya di
Bangil Pasuran.
- Jalur
Nasab: Sayid Abdurahman bin Muhammad bin Umar bin Abdullah bin Umar bin
Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Basyaiban
-
Keturunannya:
Sayid Ahmad
(makam di Buduran Sidoarjo),
Sayid Arief
(makam di segoropuro pasuruan),
Sayid
Sulaiman (makam di Mojoagung Jombang) dan
Sayid
Abdullah yg wafat dlm usia muda (makam di Bangil Pasuruan).
Dzuriyah
beliau banyak tersebar di Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Mojokerto, Malang,
Jember, Magelang, Pekalongan.
Sumber : https://sites.google.com/site/pustakapejaten/manaqib-biografi/7ulama-nusantara/sunan-kajoran