Dukuh Banyuwerno, terletak di kabupaten Batang, kecamatan Wonotunggal, kelurahan Wates. Yang diperkirakan ada sekitar 130 ( seratus tiga puluh ) kepala keluarga. Banyuwerno diambil dari kata Banyu yaitu Air, dan Werno yaitu Warna, atau
Air Warna.
 |
Mata air Banyuwerno |
Konon kabarnya dahulu kala sekitar abad ke 16 Masehi atau kurang lebih 1600 tahun yang lalu, ada seorang panglima perang dari mataram yang bernamaPangeran Bahureksa, dan istrinya yang bernama Dewi Rantansari.
Pada waktu itu Pangeran Bahureksa sedang menyembunyikan Dewi Rantansari disebuah hutan. Sewaktu Dewi Rantansari mau mencari sumber air, disitu ada sumber air yang berwarna - warni. Kemudian ia mengambil air tersebut untuk mencuci beras, namun setelah beras tersebut dimasak sampai beberapa hari tetapi tidak kunjung menjadi nasi. Beras tadi dibuang dan menjelma menjadi batu, dan batu tersebut diberi nama
Batu Beras. Setelah itu Dewi Rantansari melaporkan kepada pangeran Bahureksa akan kejadian tadi, kemudian Pangeran Bahureksa mandi pada sumber air tadi dan mendapatkan daya kelebihan kesaktian yang berlipat ganda. Kemudian pangeran Bahureksa berujar suatu saat nanti tempat itu diberi nama Banyuwerno.
 |
Batu Beras |
Dan sampai sekarang mata air tersebut kadang menampakkan wujud air yang berwarna-warni ke penduduk setempat. Dan konon katanya jika air tersebut langsung diminum atau dipergunakan untuk mandi, maka akan memperoleh daya magic yang tidak terkira . Banyak orang mempercayai baik dari penduduk lokal maupun dari luar bahwa air tersebut memang bisa membawa berkah dan mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Dan beras yang menjelma menjadi batu tadi sungguh mencengangkan, batu-batu kecil tersebut bisa menempel sangat kuat dengan batu lainnya walaupun tanpa ada semen untuk perekat.
Anda pasti sudah tidak asing lagi dengan hiburan kesenian yang bernama Sintren, kesenian Sintren bermula dari kisah cinta kasih Raden Sulanjono, atau putra dari Pangeran Bahureksa dengan Dewi Rantansari. Raden Sulanjono memadu kasih dengan Sulasih seorang putri dari desa Kalisalak, namun hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Pangeran Bahureksa, akhirnya raden sulanjono bertapa di Banyuwerno, dan Sulasih memilih menjadi penari. Meskipun demikian pertemuan diantara keduanya masih terus berlangsung melalui alam gaib.
 |
Batu tempat bertapa Raden Sulanjo |
Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantansari atau ibu dari Raden Sulanjono yang memasukkan roh bidadari ketubuh Sulasih. Pada saat itu pula Raden Sulanjono yanng sedang bertapa ditemui oleh roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan antara Sulasih dengan Raden Sulanjono. Sejak saat itulah setiap diadakan pertunjukan sintren Sang penari pasti dimasuki roh bidadari oleh pawangnya, dengan catatan bahwa hal tersebut dilakukan apabila sang penari masih dalam keadaan suci atau ( perawan ).
 |
Batang pohon yang ada gambar mirip binatang kura - kura letak nya di belakang batu pertapaan |
Seperti itulah asal usul dari Dukuh Banyuwerno, batu tempat bertapanya Raden Sulanjono juga masih berdiri tegak sampai sekarang. Dan setiap tanggal 11 bulan maulud, warga masyarakat mengadakan khol dan pagelaran wayang golek setiap tanggal 12 maulud
Referensi kisah :
http://sulanjono.blogspot.co.id/
0 comments:
Post a Comment