28 February 2018

Jejak Raja Syalindra di Kabupaten Batang Jawa Tengah


Situs Syailendra Keanekaragaman bentuk peninggalan masa lalu di wilayah batang telah menunjukkan adanya dinamika masyarakat dan lentur terhadap proses perubahan yang terjadi oleh pengaruh-pengaruh budaya luar. Dan melihat bentuk-bentuk peninggalan megalitik itu, menunjukkan bahwa mereka telah mengenal teknologi. Selain itu pembudidayaan hewan dan tanaman telah dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sistem upacara



PRASASTI SOJOMERTO



Prasasti Sojomerto, ditemukan di desa Sojomerto Kecamatan Reban Kabupaten Batang Jawa Tengah, dibuat kira-kira pada abad ke VII atas perintah Syailendra, seorang raja dari Kerajaan Sriwijaya yang menyerang Pulau Jawa tahun 684 M.

Prasasti tersebut dibuat dari batu andesit dengan panjang 43 cm, tebal 7 cm, dan tinggi 78 cm. Tulisan Jawa Kuna dipahatkan pada permukaan yang rata, terdiri atas 11 baris yang sebagian barisnya rusak terkikis usia.

Bunyi tulisan tersebut antara lain :

Sembah kepada Dhewa Syiwa Bathara Paramecwara dan semua Dhewa-dhewa. Saya hormat kepada "Hiya Mih" adalah yang mulia Dhapunta Syailendra, Santanu adalah nama ayahnya Badhrawati adalah nama ibunya, Sampura adalah nama istrinda dari yang mulia Syailendra.

Prasasti Sojomerto ini lebih tua dari prasasti Canggal yang dibuat atas perintah Sanjaya pada tahun 732 M. Menurut sejarah Indonesia, Syailendra adalah seorang raja yang keturunannya kawin dengan keturunan wangsa Sanjaya yang selanjutnya menurunkan raja-raja Jawa Tengah dan Jawa Timur

SITUS SILURAH


Prasasti Canggal sebagai bukti sejarah Indonesia yang dibuat pada tahun 732 M atas perintah Raja  Sanjaya menyebutkan bahwa "di Pulau Jawa yang masyhur ada seorang raja bernama Sanna".  Sanna yang agung atau "Mahasanna" kemudian berubah menjadi Mahasin dan orang sekarang menyebutnya dengan Masin, adalah sebuah desa di Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang.

Apakah diwilayah ini dahulu kerajaan Mahasin berada ?.

Tersebutlah kerajaan Mahasin dengan rajanya Senna yang memerintah rakyatnya dengan adil dalam waktu yang lama. Pada tahun 684 M Mahasin digempur oleh Sriwijaya. Senna bersama dengan putra mahkotanya lari kearah selatan mendirikan padepokan di Desa Silurah, ditandai dengan adanya situs misterius dengan patung Ganesya dan peninggalan purbakala  bercorak Hindu lainnya, sedangkan Sanjaya sebagai putra mahkota diungsikan ke selatan di kaki gunung Merapi. Sebagai tempat pelarian, sampai sekarang situs Silurah ini masih berbau mistis yang menyatakan bahwa pegawai pemerintah dilarang mendekati wilayah tersebut. Disamping patung Ganesya yang terletak di lembah pertemuan antara sungai Retno dengan sungai Semilir, masih banyak peninggalan purbakala di Desa Silurah Kecamatan Wonotunggal ini, seperti lingga dan yoni sebagai lambang kesuburan serta umpak berundak bekas reruntuhan candi.

Sumber: https://www.batangkab.go.id/index.php?nav=com_menu&id=5



SEJARAH BATIK BATANG


SEJARAH PERKEMBANGAN KERAJINAN BATIK DI TINJAU DARI SOSIAL BUDAYA DI KABUPATEN BATANG TAHUN 1968-1973

Batik Rifaiyah batang


Kerajinan batik Batang merupakan salah satu apresiasi budaya masyarakat Batang yang juga sedikit banyak dipengaruhi oleh batik tulis Pekalongan dan juga batik pesisiran. Batik merupakan hasil budaya bangsa Indonesia. Motif-motifnya merupakan perkembangan dari paduan berbagai pengaruh dari kebudayaan lain. Unsur keindahan pada motif, corak dan warna batik mengalami perubahan sesuai dengan jamannya. Dalam pertumbuhan dan perkembangan motif-motifnya didukung oleh adanya faktor-faktor yang mempengaruhinya yaitu faktor letak geografis Batang yang berada pada pesisir pantai utara (Pantura) pulau Jawa. Faktor geografis mempengaruhi pola pikir pada masyarakatnya karena adanya kedatangan para pendatang yang membawa perubahan sehingga menjadikan motif-motif dan warna pada Batik Batang menjadi beragam. 

Batik Rifaiyah


Penelitian ini mengangkat permasalahan yaitu: 1) Bagaimana sejarah Batik di Kabupaten Batang, 2) pengaruh morif batik dari daerah lain terhadap motif batik Batang, 3) Bagaimana pengaruh kerajinan batik terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat di Kabupaten Batang dari tahun 1968 sampai tahun 1973. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah 1) Untuk mengetahui sejarah perkembangan batik di Batang, 2) Untuk mengetahui pengaruh motif batik dari daerah lain mempengaruhi kerajinan batik Batang, 3) Untuk mengetahui bagaimana pengaruh kerajinan batik terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat di Kabupaten Batang dari tahun 1968 sampai tahun 1973. Dalam penelitian ini metode yang digunakan penulis adalah 1) Heuristik yang menyangkut studi pustaka, observasi, wawancara; 2) Kritik Sumber yang menyangkut kritik intern dan kritik ekstern; 3) Interprestasi dan 4) Historiografi. Kabupaten Batang lepas dari Kabupaten Pekalongan pada tahun 1965. Sejarah batik Batang ada sejak masyarakat pada umumnya mengenal budaya batik. Namun demikian ditinjau dari segi motif dan histories, batik batang sudah ada sejak jaman Kerajaan Hindu-Budha di Jawa. Perkembangan Batang disebut sebagai produsen batik cukup beralasan, meskipun tidak setenar kota-kota lain yang sudah legendaris. Dikenalnya motif batik Kluwung dari Batang dapat menjadi bukti bahwa Batang juga sebagai daerah penghasil batik. Motif batik Batang tidak jauh berbeda dengan motif batik dikota-kota lain. Berawal dari motif batik Gringsing yang merupakan cikal bakal batik Batang, kemudian ragam hias yang pengaruhnya dari batik pedalaman dan batik pesisir. Motif seterusnya yang mempengaruhi batik Batang yatiu motif Cemplokan, padmashaba, kawung, dan parang. Para pengrajin batik Batang dalam menciptakan rancangan motif-motifnya tidak lepas dari kebudayaan atau adat istiadat. Pada awal tahun 1966 sudah mulai ada batik cap, kemudian pada tahun 1968 batik menjadi trend di kalangan bangsawan dan priyayi sehingga mengakibatkan terbentuknya stratifikasi sosial dalam masyarakat Batang pada saat itu.


Sumber : http://lib.unnes.ac.id/2047

26 February 2018

Kisah Ulama Syech Tholabuddin Desa Masin

Kisah Ulama Syech Tholabuddin Penyebar Agama Islam Dan Pejuang Melawan Belanda


Makam Syech Tholabuddin terletak di dukuh Pekuncen atau tepatnya di areal pemakaman dekat Kantor Desa Masin Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang. Setiap bulan Sya'ban masyarakat setempat selalu memperingati haul nya.
Diceritakan oleh salah satu tokoh masyarakat sekaligus peneliti sejarah Syech Tholabuddin, KH Amshori, Syech Tholabuddin bermukim di Masin pada Periode Mataram Islam.
"Nama aslinya tidak pernah dibawa. Kalau di beberapa tulisan, nama-namanya itu sebenarnya dilebih-lebihkan, tidak ada bukti sejarahnya," ucap KH Amshori.
Dijelaskan, bahwa para ulama dan wali jaman dulu memang jarang membawa nama aslinya. Sebagain besar penamaan dikarenakan kondisi lingkungan dan daerah masing-masing.
"Seperti untuk mbah Tholabuddin, berasal dari kata Jawa telo budin, kalau dulu telo disamakan dengan orang yang bodoh. Dengan maksud mbah Tholabuddin bermaksud merendahkan diri dihadapan masya rakat," terangnya.
"Sedang kalau istilah Arab nya Tholabuddin,  orang yang mempentingkan kepentingan agama (Islam)," lanjut KH Amshori kepada koran saat ditemui di rumahnya Desa Candiareng tempatnya sekarang.
Dijelaskan lebih lanjut, masuknya ulama Islam di Batang Pekalongan dan sekitarnya, dulu seiring didirikannya pemerintahan pertama dulu. Yang berpusat di Batang, dengan pimpinan Ki Ageng Pekalongan, menjelang perang Mataram pertama. Namun masih mengnginduk ke Kaliwungu, yang dulu dijuluki Mataram Kendal, karena tempatnya kumpulnya Wali.
Adanya pemerintahan atas perintah Sultan Agung juga diikuti masuknya Wali dibawah pimpinan Mbah Baurekso. Dengan penasehat Kyai Agung Cempaluk, mbah Syech Kramat Pasekaran, Syceh Jambukarang dan pasukan perang yang dipimpin Mbah Gede Petanasangin (pasukan khusus). Sedangkan Syech Tholabuddin sendiri datang dimasa perang mataram kedua, setelah masa Mbah Baurekso.


Kedatangan Syech Tholabuddin juga beserta saudaranya, Mbah Dalabuddin dan Akrobuddin. Mbah Dalabuddin, kini dimakam di Dracik Kota Batang. Adik Syech Tholabuudin ini dikenal dengan kharomnya ilmu pemerintahan. Salah satu keturuannya adalah Santoso, yang pernah menjabat sebagai Wakil Bupati Batang 20 tahun lalu.
Sedang saudara lainnya, Akrobuddin,  kakaknya di makamkan di Desa Kaliyoso Cepiring Kendal. Peninggalan karomahnya, di masjid Jami ada 4 soko, jika dilihat miring berarti jiwanya sedang tidak baik.
 "Mbah Akrobuddi juga menjadi donatur saat perang Mataram Islam melawan VOC, sampai dirinya dijuluki Utsman bin Afan Jawa," terangnya.
Sedang Syech Tholabuudin sendiri diberi kharomah atau kelebihan ke ilmu Syariat tapi juga cukup memiiki harta yang cukup. Salah satu bukti sejarahnya, bisa mengislamkan Mbah Gono. Yang mana di jamannya dikenal sebagai tokoh Umat Hindu. Bahkan akhirnya mbah Gono juga menjadi salah satu muridnya sebagai ulama di Masin.
Karomahnya yang lain, pernah pada suatu saat Kyai Senari Cepiring sekitar tahun 1980 an berziarah dengan jamaah di makam Tholabuddin. Secara isyarat dipersilahkan jamaah mengambil uang di pojok makam, tempatnya dibawah gentong yang mana terlihat banyak sekali yang. Namun pada waktu itu, Kyai Senari tidak berkeinginan dalam urusan keduniaan, lebih mengutaman keberkahan dan jamaahnya juga mengamini.
Dari segi keilmuan, nasab ilmu Syech Tholabuddin belajar ke Kyai Asy'ari (Kyai Guru) di Kaliwungu Kendal, yang merupakan pendiri Masjid Jami Kaliwungu yang dimakamkan di Protomulyo Kaliwungu.
 "Sedang nasab ilmu ke Walisongo belajar dari ke Sunan Drajat, dan menyambung ke Sunan Ampel," jelasnya.
Bukti sejarah perjuanagn Syech Tholabuddin juga sering diperingati, setiap Maulud Nabi dengan menggelar Kirab Merah Putih. Yang merupakan simbol perjuangan rakyat Masin dipimpin Syech Tholabuddin mengusir penjajah dengan berjalan kaki ke Pekalongan. Karena di masanya, hanya Warungasem terutama Masin yang tidak bisa dimasuki penjajah, sehingga pasukan Masin diperbantukan ke Pekalongan.
Makanan yang menjadi kegemaran Syech Tholabuddin adalah sego liwet, lauk gereh perek dan sayur gandul. Ternyata tidak hanya sekedar makanan saja, karena memiiki makna filosofis yang cukup tingi.
Dari makna sego liwet, yang beruma nasi sangat matang berarti bahwa setap umat harus mematang kan syariat (Islamnya). Lauk gereh perek (ikan yang kepalanya besar, dagingnya dikit lebih banyak duri), degan filosofi setiap umat muslim setiap makan harus hati-hati, antara makan halal haram dan subhat. Juga harus hati-hati dengan urusan batin (ilmu santet) karena pada saat itu sangat banyak sekali.
Sedang kuluban (sayuran) godong gandol (daun pepaya), mengandung makna banyak wasilah (manfaatnya).
 "Sebagai masyarakat(saat itu)  lebih baik ngandul atau jadi makmun jangan ambisi jadi pemimpin. Karena ambisi jadi pemimpin tidak baik," terangnya.
Diceritakan karena pada saat itu, setelah Islam cukup kuat banyak orang yang mengaji di Wali Muria. Namun sekembalinya, semua pada berlomba-lomba ingin menjadi imam dan pemimpin masyarakat. Sehingga Syech Tholabuddin mengingatkan agar semua saling mengalah untuk kebaikan.

Sumber : https://www.pekalongan-news.com

Tradisi Khaul Syekh Kajoran dan Sejarah Masjid Kuno di Gringgingsari, Batang


BATANG - Tradisi Khaul Syeh Abdurrahman Kajoran yang digelar setiap 9-11 Syawal di Desa Gringgingsari Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang, dapat diibaratkan sebagai hari raya kedua setelah Idul Fitri bagi masyarakat Jawa Tengah dan sekitarnya.
Acara tersebut benar-benar dipersiapkan segala sesuatunya mirip dengan penyambutan hari besar seperti lebaran, terutama dalam menyambut ribuan tamu (pengunjung) dari berbagai daerah.
Ritual Khaul Sunan Kajoran sendiri, diisi dengan berbagai kegiatan seperti pembacaan manakib, berdoa di kompleks makam, dan puncaknya adalah pengajian akbar.
Adapun acara yang paling ditunggu-tunggu para jamaah atau pengunjung adalah pameran benda peninggalan tokoh tersebut, yang berupa sorban, tongkat, pakaian dan benda pusaka lain di kompleks masjid tua peninggalan wali yang masih Paman dari Sunan Gunung Jati itu.


Nama Syeh Abdurrahman Kajoran demikian melegenda dan terpatri dalam ingatan kolektif masyarakat setempat. Tokoh spiritual itu hidup pada abad ke-7 dan diyakini warga sebagai senopati yang "pilih tanding".
Namun sayangnya, pada setiap acara Khaul dari tahun ke tahun tidak diungkap secara jelas siapa sesungguhnya tokoh yang juga disebut sebagai Sunan Gringging tersebut.
Berdasarkan informasi yang diperoleh GoNews.co dari berbagai sumber termasuk para sesepuh desa tidak lah lengkap. Dimana data sejarah ketokohannya belum banyak terungkap, terutama kiprahnya dalam menyebarkan ajaran Islam.
Bahkan juru kunci makam, Mbah Thowaf, mengaku tidak tahu-menahu siapa sesungguhnya ulama itu. Dalam pengajian pun tidak disinggung soal riwayat hidupnya, semisal asal-usulnya, kapan, serta ajaran apa yang membekas di hati masyarakat.
Selama ini masyarakat hanya memahami dari sisi mitos dan legenda lewat cerita mulut ke mulut. Mitos dan legenda seputar kesaktian tokoh itu dipahami warga layaknya kebenaran sejarah.
Namun demikian, sejumlah lokasi yang dipercaya pernah menjadi petilasan hingga saat ini masih ada. Tempat atau lokasi petilasan sang Sunan Kajoran, saat ini dikeramatkan. Peninggalan tersebut seperti makam, sumber air atau yang dikenal dengan nama Sendang Depok, Sungai (yang diyakini bekas tongkat sang sunan), dan Masjid.
Selain itu juga ada beberap benda pusaka seperti sorban, tasbih, tongkat dan lainnya.
Sungai yang membelah Desa Gringgingsari misalnya, oleh sebagian warga dikeramatkan sedemikian rupa. Sungai ini punya makna khusus. Airnya digunakan warga untuk berbagai macam keperluan, namun ada pantangan yang tak boleh dilanggar.
Pantangan atau larangan tersebut, contohnya adalah, wanita yang menstruasi (haid,red)n dilarang mendekati. Mandi di sana adalah aib dan dianggap pelanggaran adat. Ada sanksi moral, minimal dicela dan dibenci warga. Mengotori sungai sama artinya mengotori niat suci orang yang membangun parit tersebut, yakni Sunan Gringging.
Menurut cerita, sungai tersebut dibangun dengan semangat spiritual dan filosofi mendalam. Bukan sekadar garukan tanah tempat mengalirnya air, melainkan di dalamnya menyimpan ajakan persuasif untuk berperilaku suci dan bersikap arif terhadap lingkungan.
Kearifan tersembunyi seperti kisah wali-wali lain di Jawa, Sunan Gringging berdakwah menggunakan pendekatan kultural. Dia tidak hanya berhenti pada kerja fisik (membangun parit) tetapi juga melengkapinya dengan membangun masjid sebagai simbol spiritual dan pusat aktivitas dakwah.
Maka sangat masuk akal jika sungai tersebut dibangun berdampingan dengan masjid, sehingga masyarakat berpikir ulang jika membuang kotoran ke sungai itu.
Sebagai masyarakat agraris, warga Gringgingsari hidup berdampingan dengan sungai, hutan, perbukitan, dan tentunya juga mata air.
Mereka hidup berdampingan dengan alam yang menyimpan kearifan tersembunyi. Parit dan sumber air menjadi metafora untuk menyampaikan pesan bahwa bersahabat dengan lingkungan demikian penting demi menjaga harmoni kehidupan. Menjaga dan merawat parit merupakan sebuah kepatuhan pada hukum-hukum tak tertulis yang diwariskan para pendahulu.
Warga Gringgingsari juga bisa belajar dari mitos dan benda peninggalan Mbah Wali berupa masjid tua, pancuran tempat wudu, tongkat, sorban, tasbih, dan lain-lain.
Mereka juga akrab dengan legenda seputar sepak terjang sang Sunan dalam menyebarkan ajaran Islam dan keberaniannya menghadapi lawan. Warga familiar dengan dongeng dramatikal seperti kisah Ki Lurah Ajar Pendek, tokoh sakti golongan hitam yang menghalangi perjuangan Syeh Abdurrahman.
Sampai sekarang cerita rakyat masih hidup dan terus dituturkan dari generasi ke generasi. Anak usia SD pun akrab dengan cerita di sekitar kampung halamannya.
Dalam masyarakat tradisional kadang ada konsep suci yang khas, bersifat lokalistik, dan tidak gampang dipahami hanya menggunakan logika, misalnya meyakni ada tempat, benda, dan nama khusus yang dianggap "berbahaya" jika dijamah sembarangan.
Sejarah Masjid Al Karomah, Peninggalan Sunan Kajoran
Masjid Al Karomah, adaLah Masjid kuno di Desa Gringgingsari yang pertama kalinya didirikan, Syekh Abdurrahman Kajoran atau yang sering dikenal dengan nama Sunan Kajoran.
Menurut informasi yang didapat GoNews.co, proses pembuatan Masjid ini cukup lama dan berbentuk sangat sederhan.
Dulunya masjid ini masih berbentuk sederhana dan sangat tradisionaL. Rangkaian atapnya atau yang orang jawa bilang "Rangken", masih terbuat dari bambu, atapnya terbuat dari serabut kelapa dan ijuk.
Guna mengaitkan atap dan rangakainnya, Sunan Kajoran mengikatnya dengan tali yang terbuat dari "Penjalin" atau rotan. Sementara untuk tiang penyangganya masih terbuat dari kayu, dindingnya juga terbuat dari anyaman bambu dan kayu.
Sementara mustokonya (Kubah) masjid, menggunakan pengaron/paso (tempat air yang terbuat dari tanah Liat), dan lantainya masih berupa tanah.
Seiring berkembangan zaman, saat ini masjid tersebut sudah banyak dirombak dam menjadi masjid moderen.
Lokasinya pun termasuk mudah didapat, karena berada di tengah desa. Dan memiliki cirikhas terowongan, dimana halamanya menggunakan beton yang tepat diatas jalan desa.
Pemberian nama Al Karomah sendiri, merupakan ide dari Remaja Desa yang tergabung dalam (Remaja Masjid), pada tahun 1987 yang lalu. 

Sumber Referensi : https://www.goaceh.co

SUNAN KAJORAN


Beliau adalah penghulu basyaiban di indonesia selain Sayid Abdurahman (Mbah Sambu) Lasem Jawa Tengah. Beliau datang dari yaman menuju keraton cirebon dan menikah putri raja cirebon Syarifah Khadijah (Mbah Ratu Ayu Ibu) yang makamnya di Bangil Pasuran.
- Jalur Nasab: Sayid Abdurahman bin Muhammad bin Umar bin Abdullah bin Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Basyaiban
- Keturunannya:
Sayid Ahmad (makam di Buduran Sidoarjo),
Sayid Arief (makam di segoropuro pasuruan),
Sayid Sulaiman (makam di Mojoagung Jombang) dan
Sayid Abdullah yg wafat dlm usia muda (makam di Bangil Pasuruan).
Dzuriyah beliau banyak tersebar di Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Mojokerto, Malang, Jember, Magelang, Pekalongan.

Sumber : https://sites.google.com/site/pustakapejaten/manaqib-biografi/7ulama-nusantara/sunan-kajoran




22 February 2018

SITUS BATANG KUNO MASA KLASIK (HINDU-BUDHA)


SITUS BATANG KUNO MASA KLASIK (HINDU-BUDHA)
Studi Historis Wilayah Lama Situs Ekskavasi di Kabupaten Batang

Sejarah Indonesia Kuno masih banyak menyimpan masalah yang belum terungkap. Khususnya mengenai kisah tentang Jawa Tengah Kuno yang tertulis dalam buku-buku sejarah, lebih-lebih buku-buku yang berkaitan dengan pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah, selalu diawali dengan penyajian mengenai muncul dan berkembangnya kerajaan-kerajaan Jawa Hindu dibagian pedalaman selatan Jawa Tengah. Dinasti Mataram Kuno dimunculkan secara tiba-tiba dengan mendapat porsi sorotan sejarawan secara lebih luas di daerah Kedu Selatan dan sekitarnya sedangkan bagian lain dari Jawa Tengah seakan-akan dibiarkan terlantar dalam kegelapan sejarah (Oemar, 1995 : 57).
         Batang adalah sebuah kabupaten yang terletak dipesisir utara Jawa Tengah. Kabupaten Batang memiliki banyak peninggalan-peninggalan situs-situs sejarah kuno yang penyebarannya melingkupi seluruh wilayah di Batang. Situs-situs sejarah tersebut terdapat disekitar Batang yang diantaranya di Kecamatan Wonotunggal, Tersono, Reban, Bawang, Gringsing, Selopajang, dan Blado. Sejarah kuno di Kabupaten Batang sendiri bisa diketahui dengan peninggalan bukti-bukti sejarah diantaranya sumber temuan berupa prasasti yaitu : Prasasti Sojomerto, Prasasti Bendosari, Prasasti Wuntit, Prasasti Kepokoh, dan Prasasti Banjaran. Selain benda temuan yang lain berupa peninggalan jaman Hindu seperti lingga yoni, Ganesa, Nandi, runtuhan candi, dan bekas bangunan-bangunan/tempat bersejarah.
       Di Kabupaten Batang mempunyai peninggalan kuno yang penyebaranya meliputi seluruh wilayah yang ada di sekitar Batang. Peninggalan dari hasil temuan arkeologi dan temuan masyarakat sekitar mempuyai keunikan dan merupakan peninggalan masa lampau yang sebagai bukti bahwa daerah ini mempunyai penghuni yang berbudaya. Berdasarkan peninggalan-peninggalan karya budaya manusia yang ditemukan di Batang, baik lewat penemuan biasa secara kebetulan, penturan tradisi lokal maupun ekskavasi yang terancana oleh beberapa pihak menampakan gejala bahwa daerah tersebut sejak jaman dahulu  sudah memiliki masyarakat yang terikat dalam tatanan kehidupan yang teratur yang layak masuk dalam tinjauan sejarah.(Oemar, 1995 : 58).
        Kabupaten Batang sebenarnya mempunyai banyak situs sejarah. Namun kekayaan sejarah itu belum mendapat perhatian masyarakat luas, termasuk kalangan pendidikan. Karena itulah perlu pengenalan tentang lingkungan sejarah daerah Batang kepada dunia pendidikan khususnya pendidikan diwilayah Batang. Situs sejarah juga bisa disebut sebagai museum lapangan karena musium yang terletak didaerah terbuka seperti situs-situs sejarah. Situs sejarah juga bisa digunakan sebagai pendidikan untuk siswa sebagai sumber media pembelajaran agar siswa bisa berpikir analisis tentang bukti historis peninggalan-peninggalan sejarah yang berkaitan dengan pembelajaran sejarah di sekolah.

   Daerah Batang dan Sekitarnya dalam Sejarah
        Daerah Batang dan sekitarnya dalam sejarah Indonesia Kuno masih merupakan praktis belum dikenal umum meskipun kalau dilihat dengan kacamata pandangan historis daerah tersebut cukup mencurigakan. Daerah Batang terletak di wilayah Jawa Tengah Utara bagian Barat, tepat disebelah Utara Dieng. Dengan ditemukan benda temuan purbakala di wilayah situs Batang dalam peninggalan Hindu mengundang pemikiran bahwa daerah tersebut mempunyai nilai sejarah dalam peristiwa masa lampaunya.
        Kabupaten Batang secara garis besar dapat dibagi menjadi 3 zona. Zona Utara meliputi daerah pesisir, daerah Tengah meliputi pegunungan Roban hingga wilayah Bandar Utara, zona Selatan meliputi daerah disebelah Selatan pegunungan Roban hingga pegunungan Kendeng. Daerah Batang merupakan daerah yang subur karena mempunyai aliran sungai yang melimpah dengan tanahnya yang gembur. Di zona utara terdapat 5 sungai yang cukup besar yaitu sungai Kuto di Gringsing, langsea di Subah, sungai Baya di Tulis, sungai Keramat di Batang, dan sungai Kupang di Warungasem. Posisi geografis daerah Batang dan sekitarnya mengundang pemikiran bahwa sejak jaman dahulu (jaman Kuno) daerah tersebut sudah dipilih orang untuk dihuni dan mempunyai kontak dengan daerah luar.
Daerah Batang dan Problematika dalam Sejarah Indonesia Kuno
Dalam sejarah Indonesia di jumpai tidak sedikit persoalan yang sesungguhnya belum terpecahkan. Adanya problem-problem yang tetap belum dapat di pecahkan tersebut terutama disebabkan oleh kurangnya sumber yang tersedia. Akibatnya gambaran sejarah yang di peroleh belum jelas, lebih-lebih mengenai sejarah Indonesia Kuno.
Tanda-tanda kehidupan di Jawa Tengah, dalam buku sejarah daerah Jawa Tengah, dijelaskan :
“Dari sumber-sumber yang terbatas dapat diduga, bahwa tanda-tanda kehidupan di Jawa Tengah mulai tampak sejak abad ke VII dengan diketemukannya prasasti Sojomerto atau mungkin lebih awal lagi pada abad ke V / VI dengan diketemukan prasasti Tuk Mas yang menurut Prof. Dr. Poerbotjaroko diperkirakan dari tahun 500-an. Sedangkan tanda-tanda kebudayaan di Jawa Tengah mulai tampak sejak abad ke VII yaitu dengan berkembangnya agama Budha aliran Hinayana sekte Mulasaraswatiwada di kerajaan Holing. Sejak kerajaan Holing lenyap tidak diketahui lagi kelanjutan perkembangan agama Budha aliran Mahayana. Kedua macam agama itu hidup dan berkembang berkat dukungan dinasti Sanjaya dan Saelendra yang memerintah Jawa Tengah.”
 Sejarah Indonesia Kuno hingga abad ke-10 M, dapat disusun berkat ditemukannya sejumlah prasasti serta peninggalan purbakala lainnya dan berita-berita luar negeri (terutama berita Cina). Dalam berita-berita dari Cina disebutkan sejumlah nama tempat yang di duga berada dikepulauan Indonesia. Sebagian nama tempat tersebut belum dapat dilokasisasikan dengan tepat. Diantaranya nama-nam tempat tersebut di hubungkan dengan pulau Jawa ialah Mo Ho Sin dan Ho Ling.
                Sehubung dengan masalah yang dikemukakan, patut diperhatikan bahwa beberapa sarjanan menghubungkan kedua nama tempat tersebut dengan daerah Batang atau tempat disekitarnya. Dr. Poerbocaroko menduga daerah Masin (di kecamatan Warungasem) sebagai letak Mohosin, sedangkan Groeneveldt menunjuk Dieng sebagai kemungkinan lokasi Lang Pi Ya.
Meskipun identifikasi Lang Pi Ya dengan Dieng kurang diterima mengingat dari Dieng orang tidak dapat melihat laut, namun barang kali Groenweldt menduga bahwa Holing terletak di daerah Batang maupaun tempat disekitarnya. Berbeda dengan Goenweldt, Orsoy de Flines menempatkan Lang Pi ya di bukit Lasem.
                Penelitian di daerah Batang menunjukan pertanda yang cukup menarik dalam rangka mencari letak Lang Pi Ya. Seperti diketahui menurut I-tsing, Holing terletak di sebelah timur Mohosin.


Dalam tahun 1962 di Batang ditemukan prasasti Sojomerto. Prasasti ini sangat menarik perhatian karena di dalamnya terdapat nama Dapunta Syailendra. Bagaimana hubungannya dengan Syailendrawangsa belum jelas. Berdasarkan prasasti-prasasti yang pernah ditemukan, para sarjana belum bisa memberikan penjelasan yang meyakinkan tentang asal usul serta pertumbuhan kekuasaan  Syailendrawangsa di Jawa Tengah. Nampaknya perlu di usahakan sumber-sumber baru, baik didaerah Batang maupun tempat lain.
     Dengan ditemukan prasasti Sojomero yang kuno itu (pertengahan abad ke VII M, menurut Drs. Buchari) dan sejumlah peninggalan purbakala di daerah Batang dan Dieng, berkembanglah pendapat mengenai proses peng-Hinduan, khususnya tentang jalur lalu lintas masuknya kebudayaan Hindu kedaerah pedalaman Jawa Tengah. Pada umumnya para sarjana berpendapat bahwa asal usul terjadinya hubungan antara bangsa Indonesia dan India adalah melalui perdagangan mengingat kondisi geografis Jawa Tengah, berat dugaan hubungan itu terjadi melalui Pantai Utara.
Peninggalan Situs Sejarah di daerah Batang
        Benda-benda penemuan hasil peninggalan sejarah di daerah Batang bisa dijumpai baik didaerah pantai maupun pedalaman. Dari penelitian sementara, dapat diketahui bahwa benda-benda peninggalan tersebut berasal baik dari zaman prasejarah maupun zaman sejarah hingga abad ke-10 M.  Berdasarkan aktivitas pencarian serta penelitian sumber-sumber sejarah didaerah Batang dan sekitarnya, bahwa lokasi penemuan, benda-benda sejarah situs Batang Kuno dapat dibagi dalam 6 wilayah temuan yaitu :
1.      Peninggalan sejarah di wilayah situs Geringsing
2.      Peninggalan sejarah di wilayah situs Tersono
3.      Peninggalan sejarah di wilayah situs Reban
4.      Peninggalan sejarah di wilayah situs Blado
5.      Peninggalan sejarah di wilayah situs Selopajang
6.      Peninggalan sejarah di wilayah situs Wonotunggal
7.      Peninggalan sejarah di wilayah situs Bawang

Peninggalan sejarah tersebut berupa prasasti-prasasti maupun peninggalan-peningglan sejarah lainnya.

1.      Peninggalan Prasasti

a)   Prasasti Sojomerto
Lokasinya terdapat didaerah desa Sojomerto Kecamatan Reban. Di perkirakan berasal dari abad ke 7 M. prasasti tersebut di pahatkan dengan huruf Pallawa. Prasasti bersifat Siwaitis dan memuat silsilah Dapunta Syailendra.

  Gambar : Prasasti Sojomerto dari abad ke VII 
(sumber : Penelitian Epigrapi Jawa Tengah  no. 32)
b)   Prasasti Banjaran
 Lokasinya terdapat didaerah dukuh Banjaran desa Semampir Kecamatan Reban. Diduga prasasti ini sejaman dengan prasasti Sojomerto. Belum ada sumber yang memuat tentang isinya.

Gambar  : Prasasti Banjaran  dari desa Semampir
(sumber : Berita Penelitian Arkeologi  no. 9)

c)   Prasasti Bendosari
Lokasinya terdapat di daerah desa Sidorejo Kecamatan Gringsing. Terletak ditepi pantai pada sebelah mata air, tidak jauh dari muara sungai Kuto di Gringsing. Prasasti diperkirakan berasal dari awal abad ke 8 M dan berisi pujian terhadap mata air.

 
                                         Gambar: Prasasti Bendosari dari desa Sidorejo
Sekarang Prasasti Bendosari disimpan di musium Ronggo Warsito Semarang

d)    Prasasti Blado
Lokasinya terdapat di daerah dukuh Kepokoh Kecamatan Blado. Prasasti ini  dengan huruf Jawa Kuno dan bahasa Sansekerta, sisi belakang bergambar bulan Sabit. Parasasti blado berasal dari abad ke 7 M. Isi pokoknya berkaitan dengan dana atau semacam sedekah (persembahan) yang diberikan seorang raja kepada suatu daerah atau kepada bangunan suci. Pada baris ke 5 tersebut kata sima (daerah perdikan) atau siwi (persembahan, pengabdian).

Gambar: Prasasti Blado dari desa Kepokoh (sumber : Dokumen pribadi)
2.      Peninggalan Situs Sejarah Lain
Peninggalan situs sejarah tersebut penyebarannya luas didaerah Batang, terutama didaerah Batang selatan, yaitu :
a)      Peninggalan sejarah didaerah situs Gringsing
Peninggalan situs sejarah dari Bendosari yaitu prasasti Bendasari, dua buah arca Hamsa, sebuah jaladwara, dan batu bekas bangunan dari batu bata berukuran 40 x 20 cm.

c)      Peninggalan sejarah didaerah situs Wonotunggal dan situs Silurah.

- Gajah Indra

Gambar : peninggalan Gajah Indra  di situs Wonotunggal

Peninggalan di desa Brokoh sebuah arca orang naik gajah, empat buah umpak, sebuah arca manusia dan kapak-kapak Neolitik.

-Situs Silurah.

Gambar : peninggalan Ganesa di situs Silurah

Peninggalan didaerah Silurah diantaranya Ganesa dengan ukuran besar, patung Siwa tanpa kepala, lingga dan yoni. Selain itu ada bekas bangunan reruntuhan candi.

 Peninggalan benda-benda perhiasan dari emas di Warungasem (dekat desa Masin/wura-wari)

Prasasti Canggal sebagai bukti sejarah Indonesia yang dibuat pada tahun 732 M atas perintah Raja Sanjaya menyebutkan bahwa “di Pulau Jawa yang masyhur ada seorang raja bernama Sanna”. Sanna yang agung atau “Mahasanna” kemudian berubah menjadi Mahasin dan orang sekarang menyebutnya dengan Masin, adalah sebuah desa di Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang.Tersebutlah kerajaan Mahasin dengan rajanya Senna yang memerintah rakyatnya dengan adil dalam waktu yang lama. Pada tahun 684 M Mahasin digempur oleh Sriwijaya. Senna bersama dengan putra mahkotanya lari kearah selatan mendirikan padepokan di Desa Silurah, ditandai dengan adanya situs misterius dengan patung Ganesya dan peninggalan purbakala  bercorak Hindu lainnya, sedangkan Sanjaya sebagai putra mahkota diungsikan ke selatan di kaki gunung Merapi.
 (http://www.batangkab.go.id/pariwisata/Sejarah_Batang.htm)

d)      Peninggalan sejarah didaerah situs Selopajang dan sekitarnya.
- Peningalan di Selopajang yaitu : arca manusia, 8 buah arca Nandi, sebuah prasada, sebuah padmasana, dua buah Yoni, batu-batu bekas bangunan, pecahan-pecahan kramik, sebuah arca Ganesa, sebuah arca Siwa maha guru.
- Peninggalan purbakala didesa Selokarto yaitu : benda-benda prasejarah kapak Neolitik, kramik, batu bekas bangunan Hinduistis.
- Peninggalan sejarah didesa pecalungan yaitu: bekas pondasi, sebuah Yoni dan batu bekas bangunan.
- Peninggalan sejarah didesa Tumbrep yaitu : batu-batu bekas bangunan, sebuah arca Nandi, dan lingga.

Penyebaran peninggalan situs sejarah dalam lingkungan wilayah Selopajang tersebut terletak + 2-4 KM dekat dengan prasasti Banjaran dan Indrokilo. Dari peninggalan prehistoris, kiranya dapat disimpulkan telah adanya suatu masyarakat yang tertata dan berpusat di daerah Selopajang sebelum datang pengaruh kebudayaan Hindu yang selambat-lambatnya dalam abad 7 telah sampai disana. (Oemar, 1995 : 65).

e)      Peninggalan sejarah di daerah situs Bawang

- Peninggalan didesa Candi Gugur yaitu : sebuah padmasana, arca Nandi, sebuah Jaladwara dan sebuah Lingga.




- Peninggalan di Kepyar yaitu batu bekas candi, sebuah relief Kala, dan bangunan candi kecil.




- Peninggalan di desa Cepit yaitu arca manusia setinggi 75 cm, arca Nandi, Lingga-Yoni, batu bekas pondasi suatu bangunan dan sebuah relief Kala.


Bawang terletak di sebelah utara Dieng dan merupakan daerah yang berdekatan dengan Dieng, dapat diperkirakan bahwa dulu merupakan tempar lalu lintas orang-orang menuju Dieng. Jalan Budha yang dalam tradisi dipandang sebagai jalan yang dilalui para peziarah Dieng, bekas-bekasnya ditemukan didaerah Bawang. Tidak heran jika di Bawang terdapat sejumlah peninggalan purbakala.
Dari peninggalan di Kepyar dengan jelas dapat diketahui bahwa didaerah itu dahulu pernah terdapat suatu bangunan candi. Arca Kala Kepyar cukup menarik perhatian berbeda dengan arca Kala pada umumnya, misalnya arca Kala di Dieng, Borobudur dan Prambanan, Kala di Kepyar mempunyai bingkai atas yang jelas, begitu pula lidahnya tampak jelas lukisannya atau pahatan perhiasannya halus.
Moh. Oemar menggambarkan adanya bentuk campuran dalam gaya seni Kala Kepyar (mirip Kala dari Campa dan arca Singa dari Gandara), serta bentuknya yang agak berbeda dengan arca Kala di Jawa Tengah bagian selatan, besar kemungkinan merupakan bentuk baru dari anasir seni baru yang dating dari luar Jawa. Pengaruh anasir asing tersebut menurut E. B. Volger terjadi antara pertengahan abad ke-9 hingga lebih kurang tahunm 927 M.(Oemar, 1995 : 66).

f)       Peninggalan sejarah di daerah situs Blado
Peninggalan purbakala di dukuh Kepokoh desa Blado yaitu prasasti Blado (Kepokoh), dan Lingga yoni

                 Gambar : peninggalan situs Blado dari desa Kepokoh (sumber : Dokumen pribadi)

Terdapatnya peninggalan prasasti di daerah Blado memperkuat bahwa daerah ini mempunyai pengaruh adanya kerajaan yang ikut andil dalam wilayah di sekitar Batang. Apabila pembaca prasasti ini betul isi pokoknya berkaitan dengan dana atau semacam sedekah (persembahan) yang diberikan seorang raja kepada suatu daerah atau kepada bangunan suci. Pada baris ke 5 tersebut kata sima (daerah perdikan) atau siwi (persembahan, pengabdian).


E.   Tinjauan Historis Wilayah Batang

Batang adalah sebuah kabupaten di pantai utara Jawa Tengah. Kabupaten Batang dan sekitarnya dalam sejarah Indonesia kuno masih merupkan daerah belum banyak dikenal umum padahal didaerah Batang mempunyai letak yang strategis bila dilihat dengan kacamata pandangan histories, daerah tersebut sangat mencurigakan. Bagaimanapun daerah Batang kuno pasti sudah mempunyai kebudayaan walaupun dari tingkat yang sederhana. Posisi geografis serta keadaan geomorfologi Kabupaten Batang mengundang  pemikiran bahwa sejak dahulu jaman kuno daerah Batang sudah dipilih orang untuk dihuni karena mempunyai posisi menyelenggarakan kehidupan. Selain itu daerah tersebut besar sekali kemungkinan untuk mengadakan kontak dengan daerah lain atau luar (Oemar, 1995 : 58).

Berdasarkan pendapat dari ahli-ahli sejarah Dr. N. J. Krom Schruke, Orsay de Elines, Dorris, Brummunk, Buchari, Suyatmi Satari, dan masih banyak lagi maka daerah pantai utara Jawa Tengah merupakan daerah Kerajaan Hindu sejak abad ke-V (Kabupaten Batang, 1993 : 79).

Prasasti Pengilon di kabupaten Batang, di ungkap dalam surat kabar Wawasan tanggal 29 Agustus 2006 yaitu
“Kabupaten Batang ternyata memiliki berbagai peninggalan kuna yang mengandung nilai sejarah. Selain Patung Ganesha yang terletak di Desa Silurah, Kecamatan Wonotunggal yang diyakini merupakan peninggalan kerajaan pada zaman Agama Hindu-Buddha, juga terdapat sebuah prasasti batu yang dikenal dengan sebutan Prasasti Batu Pengilon. Prasasti batu tersebut berada di areal persawahan milik penduduk Dukuh Kepokoh, Desa Blado, Kecamatan Blado.
Dinamakan Batu Pengilon, menurut Kasmad, salah satu tokoh masyarakat Dukuh Kepokoh, karena batu tersebut memang dulunya ada kaca yang menempel di batu tersebut. Konon ceritanya, kaca tersebut sering dipakai untuk berhias diri.
Kasmad menambahkan, prasasti batu itu sekarang terletak di areal persawahan milik Sayid. Oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Batang, prasasti batu yang diyakini memiliki kaitan sejarah itu sekarang dibuat permanen dengan di pagar keliling.”
Kabupaten Batang memiliki keanekaragaman bentuk peninggalan masa lalu dan kuno yang penyebarannya meliputi seluruh yang ada di sekitar Batang. Peninggalan dari hasil temuan arkologi dan temuan masyarakat sekitar mempunyai keunikan dan merupakan peninggalan masa lampau yang sebagai bukti bahwa daerah ini berpenghuni yang berbudaya. Tim penyusun sejarah Batang (1993 : 76) menyebutkan data-data maupun temuan benda-benda pada era pra-historis memang tidak begitu banyak seperti halnya temuan benda-benda peninggalan zaman klasik atau Hindu, yang dapat dibilang tersebar diseluruh wilayah Batang. Dengan ditemukan beberapa peninggalan benda-benda kultur Megalitik seperti Punde, Menhir, dan artefak-artefak, kereweng-kereweng lokal, dan terakhir ditemukannya pecahan Nekara dari desa Siberuk Subah, ini sudah dapat membuktikan bahwa pada zaman itu daerah Batang telah dihuni oleh manusia yang berbudaya dengan segala kegiatan-kegiatan dalam memenuhi hajat hidup.
Hasil surve tahun 1975-1976 oleh pusat Arkeologi Nasional di Pekalongan, Batang, dan Kendal banyak mendapatkan hasil temuan baru yang tersebar dari tepi pantai laut Jawa sampai kepuncak pegunungan yang berupa prasasti, runtuhan candi, pondasi bangunan-bangunan klasik, patung dan lingga yoni. Penemuan benda-benda tersebut menyebar di seluruh wilayah Kabupaten Batang.
Pengaruh kebudayaan Hindu sampai di daerah Batang karena merupakan pengaruh dari kebudayaan luar yang menyebar akhirnya datang ke daerah Batang. Pengaruh ini muncul karena daerah Batang merupakan jalur strategis menuju daerah pedalaman daerah Jawa Tengah.
Tinjauan histories oleh Moh. Oemar dalam Lustrum VII IKIP Semarang (1995 : 69-74) mengenai kerakatan dan tinjauan Historis wilayah situs Batang Kuno menyebutkan penggambaran daerah persebaran benda di situs Batang sangat mempunyai nilai Historis. Penelitian Moh. Oemar itu yaitu dijelaskan sebagai berikut sesuai gambaran sejarah yang di tulis dalam lustrum :

Karekaan daerah Tersono
Daerah Tersono, seperti telah di kemukakan, berada di sebelah tenggara daerah Kabupaten Batang. Dengan wilayah Kecamatan Limpung, keduanya merupakan kesatuana, yakni terletak di antara kedua pegunungan (Roben dan Kedang) dengan sungai-sungai yang tidak sedikit. Kenyatan itu menyebabkan daerah tersebut subur  sejak dulu kala.
Sebagai daerah pedalaman  lembah Tersono tidak begitu jauh dari laut. Antara lembah Tersono dengan Gringsing (Bendasari) terletak sugai Kuto. Ini berarti, sebagai daerah pedalaman Tersono tidak tertutup terhadap kemungkinan hubungan yang lancer dengan luar. Dengan meliahat kondisi geografisnya, tidaklah mengherankan apabila di daerah itu pernah berkembang suatu kerakaan. Ditunjukan daerah itu sebagai daerah kademangan oleh Susuhan barangkali tidak hanya  didorong oleh faktor-faktor sosial ekonomi, melainkan juga faktor histories. Analisis Schrieke  mengenai sebab kedudukan keraton Mataram Islam serta pergeserannya yang selalu berada di lingkugan atau disekitar daerah Surakarta, dapat sebagai bahan pertimbangan. Dengan menilik kemugkinan kejadian dalam lingkungan kerajaan Mataram, pemilihan Tersono sebagai kademangan barangkali karena daerah itu pernah berdiri suatu kerakaan. Peninggalan purbakala disana adalah bukti kuat dari kerakaan Tersono.
Pusat kerakaan barangkali terletak di Pejambon, yang menurut tradisi dikenal sebagai pusat kademangan. Pejambon terletak 1,5 km sebelah selatan Pejaten, tempat ditemukannya peninggalan purbakala. Dalam pertumbuhannya kerakaan Tersono mungkin dapat menguasai lembah Tersono-Limpung hingga Bendasari yang terletak di muara sungai Kuto. Penguasaan atas Bendansari adalah penting sekali karena merupakan tempat paling mudah untuk mengadakan hubungan dengan luar. Penguasan atas Bendansari oleh kerakaan Tersono tidaklah terlalu sulit. Tersono sebagai kerakaan argraris dengan daerahnya yang subur, cukup kaya baik di bidang ekonomi maupun tenaga manusia.
Bendansari tentunya merupakan suatu”Marbour principality” yang barangkali tumbuh dari perkampungan nelayan. Letaknya di muara sungai Kuto, telah memberikan keuntungan dibidang perdagangan barang-barang dari daerah pedalaman. Selain dari pada itu, mata air Balaikambang tampaknya merupakan daya penarik bagi perahu-perahu untuk mengambil air tawar di tepi laut ada penting sekali, sehingga timbulnya pujian terhadapnya yang digurutkan dalam prasasti tidaklah mengherankan. Menurut penelitian, prasasti Bendansari berisi pujian terhadap mata air tersebut.
Di atas dikemukakan mengenai suatu kemungkinan dikuasainya Bendansari oleh kerakaan Tersono. Penguasaan Bendansari oleh kerakaan Tersono penting sifatnya guna memperlancar hubungan dengan luar. Telah dilangsungkan hubungan perdagangan dengan luar negeri (India maupun Tiongkok) dapat diketahui dari berbagai faktor. Pertama, pengaruh Hindu telah sampai di daerah itu selambat-lambatnya abad VII M. (bagaimana juga para pedagang adalah pionir yang membina hubungan antara kepulauan Indonesia dengan India). Kedua, tradisi di desa Rejosari mengenai sawah Pecinan dan sawah Si Klenteng. Tradisi ini, seperti kami duga, mugkin menunjukkan adalah hubungan dengan Tiongkok, dalam arti ada pedagang-pedagang Tionghoa yang sampai di Tersono pada zaman itu.
Sawah Si Klenteng terletak di sebelah barat sawah tempat dijumpai peninggalan purbakala. Si Klenteng yang barang kali merupakan bekas bangunan klenteng, serta letaknya yang berdekatan dengan bangunan klenteng di sana berasal dari zaman kuno. Petunjuk yang pasti mengenai hal itu tidak dijumpai, namun tradisi tentang sawah Pecinan sebagai bekas perkampungan orang-orang Cina yang menurut tradisi itu jauh lebih tua dari kademangan di Tersono, tampaknya menang menunjukan hubungan antara si klenteng dengan Pecinan dan orang-orang Tionghoa telah sampai disana pada Zaman kerakaan Tersono.
Sawah Pecina terletak di dekat sawah Pejambon yang kemugkinan sekali merupakan letak pusat karekaan Tersono. Perkampungan pedagang asing yang tidak jauh dari pusat pemerintahan mungkin sudah bisa pada zaman kuno maupun pada zaman berikutnya. Dalam perkampungan orang-orang asing tersebut tetap hidup menurut kebiasaan-kebiasaan di negerinya. Mereka memilih tempat di dekat keraton mungkin atas dasar pertimbangan keamanan. Hubungan mereka dengan penguasa tentunya hanyalah dalam segi ekonomi. Sebagaimana diketahui, perdagangan di Indonesia pada waktu itu barada di tangan penguasa.
Adanya perkampungan pedagang-pedagang asing di karekaan Tersono barangkali dapat di terima mengigat letak yang strategis dalam lalu lintas (perdagangan) antara daerah pedalaman (daerah Bawang, Dieng dan mungkin juga Selopajang) dengan pantai utara (Bendasari). Karekaan Tersono dengan Bendasari merupakan pintu gerbang terdekat bagi daerah Bawang dan Dieng untuk menuju pantai utara. Oleh karena itu hubungan perdangangan antara pedalaman dengan pantai utara tentulah melalui daerah Tersono. Di daerah Selopajang dan Selokerto, lebih-lebih di tempat peninggalan purbakala, ditemukan pecahan-pecahan keramik dan pernah tergali sejumlah benda-benda keramik seperti tempayan, piring dan mangkok.
Hal ini menunjukkan adanya hubungan perdagangan dengan daerah pesisir. Hubungan itu mungkin melalui Tersono dan benda-benda keramik diatas tentunya berasal dari pedagang Tionghoa di sana. Dari Selopajang ke Tersono tidak begitu jauh, melalui sungai Petung, dari Rejosari orang sampai di Selopajang ke Sojomerto. Ini agaknya tersimpul dalam suatu tradisi di desa Banjaran dan sekitarnya yang menyatakan bahwa jalan di sebelah timur Banjaran, yang menuju ke Sojomerto, adalah bekas dari Bruklinting. Dugaan peranaan karekaan Tersono menuju Simbang Klawen dan selanjutnya menuju Dieng mengikuti jalan Budha.
Teradisi tersebut yang masih diragukan kebenarannya oleh Dr P.J. Veth, dengan ditemukanya peninggalan purbakala di daerah Tersono, barangkali memang benar adanya. “Onbelisl is het of de volagens de inlanders zeer eude weng die in Pekalongan van Tersono naar Simbang Klawen vort, made tot de boddha-wegen behoort” (PJ.Veth,1896:110).dari pusat karekaan Tersono ini baerangkali kebudayaan Hindu memancar ke daerah pedalaman.
Dari beberapa faktor yang dikemukakan, tidaklah terlalu sulit bagi karekaan Tersono untuk tumbuh menjadi karekaan yang cukup kuat dan sanggup bertahan lama. Berita Tiongkok mengenai negeri-negeri di lautan selatan, bukan tidak mungkin bila ada yang meyinggung karekaan Tersono ini.
Pegunungan Kendeng di sebelah selatan Rejosari tidak begitu jauh dari peninggalan purbakala di Pejaten. Untuk mencapai puncak dari Pejambon atau Rejosari cukup dalam waktu 30 menit. Dari puncaknya orang dapat melihat laut dengan jelas. Dalam tradisi di desa Rejosari, antara lain diceritakan bahwa dari Pejambon hingga pegunungan Kendeng dahulu kala terdapat jalan besar. Dengan mengingat peristiwa-peristiwa itu histories yang mungkin terjadi di daerah Tersono, barang kali pegunungan Kendeng ini dapat dipergunakan sebagai bahan penelitian lokasi Lang-pi-Ya, yang tersebut dalam berita Tiongkok sebagai tempat yang sering dikunjungi raja untuk melihat laut.

Karekaan di daerah Bawang
Bawang terletak di daerah Batang Tenggara dan merupakan perbatasan dengan wilayah Kedu. Di bandingkan dengan daerah Selopajang atau Tersono, Bawang jauh lebih tinggi, sekitar 900 m, di atas  permukaan laut. Oleh karena letaknya itu, Bawang memegang peranan penting sebagai penghubung antara wilayah Dieng dan pedalaman Jawa Tengah dengan daerah pesisir utara. Hal ini terbukti dengan ditemukannya bekas-bekas jalan Budha yang menuju ke Dieng dan terus ke daerah Begalan.
Karekaan Bawang berdasarkan peninggalan purbakala yang ada, tidak begitu jelas pertumbuhannya apakah tumbuh sejajar dengan karekaan Selopajang dan Tersono, atau baru timbul pada masa kemudian. Penelitian sementara terhadap peninggalan kuno disana menujukkan bahwa di antara bangunan-bangunan tersebut mugkin berasal dari abad ke-9 M. Ini berarti bahwa abad ke-9 M, itu terdapat karekaan di daerah Bawang yang aktif melaksanakan pembangunan candi. Tampaknya karekaan di sana dikembangkan dalam abad ke-9 M, dan merupakan suatu karekaan yang kuat di daerah Batang.
Usia bagunan kuno di Bawang relief dapat diketahui oleh karena ditemukannya relif-relif Kala. Di antara kala-kala tersebut, kala dari Kepyar adalah agak menarik perhatian sebab bentuknya agak berbeda dengan di tempat lain. Kala itu mempunyai bingkai yang jelas dengan lidah menjulur tanpa di stylir. Kala dengan bentuk bingkai dapat di jumpai antara lain di Candi Gedong Songo C, tetapi bentuk kedua kala tersebut tidaklah sama benar. Lidah yang begitu jelas tidak tampak dalam kala dari Candi Gedong Songo C. Pada umumnya lidah itu sudah diubah polanya begitu rupa sehinga tidak begitu merupakan salah satu dari bentuk anasir asing yang masuk ke Jawa dalam abad ke-9 M, sebagaimana diduga oleh E.B. Voger menghubungkan timbulnya anasir asing itu dengan terbitnya prasasti Gondosuli.
Bila mana dugaan di atas itu benar, maka terdapatnya anasir asing di daerah Bawang adalah cukup menarik perhatian sehubungan dengan terlihatnya perkembangan baru dalam kehidupan politik di daerah pedalaman Jawa Tengah, menjelang pertengahan abad ke-9 M. Pada masa tersebut timbul prasasti Gondosuli (Kedu Utara) yang berbahasa Melayu kuno oleh De Casparis gejala tersebut dipandang sebagai kebangkitan kembali Dinasti Sanjaya. Dari hal-hal diatas adalah mungkin bahwa dalam abad ke-9 M, karekaan Bawang didominir oleh para petualang perang (warlike settlers) dari luar jawa, yang mungkin mempuyai hubungan dengan Rakai Patapan. Masalah tersebut menyangkut hubungan antara daerah Bawang dengan kekuasaan di daerah pedalaman Jawa Tengah.

Pengaruh Dinasti Sanjaya di Daerah Batang
Dari peninggalan-peninggalan purbakala tersebut di atas, baik berupa prasasti, seni bangunan maupun tradisi di daerah Batang, menimbulkan dugaan adanya pertalian antara karekaan-karekaan di daerah Batang dengan daerah Dieng dan sekitarnya, yang merupakan wilayah pengaruh kerajaan Mataram kuno.
Bangunan candi di Dieng barangkali merupakan hasil karya karekaan-karekaan yang terdapat di sekitar Dieng, termasuk karekaan di daerah Batang. Dieng tentunya tempat suci bersama.
Terdapat ikatan erat antara daerah Batang dengan Dieng dan ikut serta karekaan di sana dalam pembangunan candi-candi di Dieng didukung oleh berbagi tradisi yang tersebar di daerah Batang. Misalnya tradisi Dipikulnya dua lumpang dengan Dieng (di desa Sidoarjo-Bawang), adanya mata air yang airnya berasal dari Dieng (di desa Selokarto), gua yang menghubungkan daerah Selopajang dengan Dieng (di desa Selopajang), batu yang digiring dari Rejosari ke Dieng (di Tersono), dsb.
Tanda-tanda adanya ikatan politik antara daerah Batang dengan kekuasaan di daerah pedalaman Jawa Tegah di sekitar pertengahan abad ke-9. Dalam pembicaraan mengenai karekaan di daerah Bawang telah dikemukakan adanya gejala-gejala yang mungkin menunjugkan adanya unsur-unsur asing yang sampai di Jawa Tengah di sekitar abad ke-9.
Jogler menghubungkan anasir asing terdapat di Candi Gedong Songo dengan Rakai Petapan serta pertaliannya dengan Sanjayawangsa. Sementara itu De Casparis berpendapat bahwa bahasa melayu kuno pada prasasti Gondosuli merupakan pertanda bangkitnya kembali Sanjayawangsa karena memperoleh dukungan kelompok penguasa yang berasal dari luar Jawa.
Apabila dugaan adanya anasir asing pada peninggalan seni bangunan di daerah Bawang tersebut di bangun oleh para pendatang dari luar jawa. Bilamana benar ada penguasa asing dalam karekaan Bawang dan sesuai dengan penguasa di Gondosuli, kemungkinan memang terdapat hubungan antara kekuasaan politik di wilayah tersebut. Sejauh mana peranan daerah Bawang khususnya dan Batang umumnya dalam pertikaian politik di pedalaman Jawa Tengah pada pertengahan abad ke IX tersebut, masih perlu penelitian lebih mendalam.
Adanya pengaruh dinasti Sanjaya di daerah Batang itu lebih jelas dengan ditemukannya prasasti Indrokilo dari tahun 884 M. Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Rakai Kayuwangi, yang antar lain berisi tentang pembelian tanah oleh permaisurinya Rakai Kayuwangi.
Sesudah masa Kayuwangi, dan dengan pindahnya pusat kekuasaan ke Jawa Timur, keadaan di daerah Batang tidak jelas. Tetapi kemungkinan sekali disana tetap terdapat karekaan-karekaan. Tradisi lokal mengenai berlangsungnya pertempuraan antara kerajaan Karang Kobar serta adanya nama-nama desa seperti Wurawari (terdapat di desa dengan nama tersebut) dan masih di daerah Batang nampaknya mendukung hipotesa bahwa kerajaan Wurawari terletak di Jawa Tengah bagian barat dan wilayahnya terbentang hingga daerah Batang.

B.   Kesimpulan
Hasil penelitian tersebut, sekali masih “summir” sifatnya, agaknya dapat juga memberi daya terang kesejarahan kepada daerah Batang di bagian utara Jawa Tengah yang selama ini belum tergambar dalam kanvas Sejarah Indonesia Kuno. Penelitian ini dapat digunakan dalam dunia pendidikan sebagai perkenalan sejarah daerah Batang untuk sebagai alternatif sumber media pembelajaran sejarah perkembangan Hindu-Budha di Indonesia dan khususnya Batang.
Dengan demikian dalam batasan-batasan tertentu diharapkan hasil penelitian ini akan menyediakan peluang bagi para ahli yang berminat untuk melakukan penelitian yang lebih luas dan mendalam atas daerah tersebut untuk mengagkat Batang dan daerah pesisir utara Jawa Tengah umumnya ke dalam percaturan Sejarah Indonesia Kuno.
Sebagai kesimpulan, penelitian ini menyajikan pendapat:
a.       Berkat ditemukanya benda-benda sejarah yang beragam-ragam pada waktu akhir-akhir ini, di daerah Batang sekitarnya, cukuplah alesan utama menduga bahwa sesungguhnya di daerah tersebut pada masa sebelum, semasa dan sesudah Zaman Mataram Kuno sudah merupakan tempat pemukiman manusia yang terkait dalam intuisi masyarakat yang teratur. Sungai-sungai, lembah-lembah yang subur dan letaknya yang berpegunugan dan memangku lautan bukanlah alasan yang mustahil untuk menggunakan dugaan tersebut di atas.
b.      Dari beberapa keterangan yang terdapat pada prasasti-prasasti yang akhir-akhir ini diketemukan di daerah tersebut, seperti prasasti Sojomerto, indrokilo, dsb. Dapat ditarik kesimpulan bahwa daerah Batang jelas mempunyai kontak dengan daerah-daerah di sebelah selatan pegunungan yang merupakan pengaruh dari kerajaan Mataram Kuno. Bahkan mungkin beberapa tempat/desa di daerah tersebut dahulu pernah menjadi pusat “kerajaan” yang penting yang pernah disebut-sebut dalam bagian lain dalam sejarah kuno, antara lain Masin dan Worawari.
c.       Sebagai daerah yang mempuyai masyarakat yang “hidup”, Batang mempunyai kontak dengan daerah luar Jawa lewat perdagangan. Dugaan ini dikuatkan antara lain oleh letak/ posisi geografisnya dan ditemukannya banyak benda-benda keramik Cina dari bermacam-macam abad, mulai abad X sampai abad XV. Bukti-bukti lain seperti “tangga Budha” di daerah kecamatan Bawang lebih memperkuat dugaan bahwa Batang merupakan “pintu gerbang” masuknya agama dan kebudayaan Hindu ke bagian selatan Jawa Tengah.
d.      Melihat keadaan alamnya yang banyak dialiri air oleh sungai-sungai kecil dengan verval yang cukup baik dan melandai dari arah selatan ke utara kuatlah dugaan bahwa daerah Batang benar-benar wilayah yang ideal untuk mengembangkan kehidupan bertani dengan system sawah basah. Dengan demikian, mengikuti logika Van Naerssen daerah tersebut dapat di duga sebagai wilayah awal dari pertumbuhan institusi kerakaan dalam tata kehidupan masyarakat para Hindu yang sangat penting kedudukannya dalam proses peralihan ke zaman pengarah Hindu .
e.       Setelah surutnya kekuasaan Sanjaya dan Syilendra di Jawa Tengah daerah Batang rupanya tidak ikut ”mati”, masyarakat di daerah tersebut tetap berkembang terus dengan serba masalahnya dan merupakan mata rantai dengan zaman berikutnya.
Demikian secara garis besar keadaan daerah Batang dan sekitarnya pada masa kuno yang seyogyanya mendapat peninjauan histories secara lebih insentif.
Mari belajar sejarah melalui situs Batang kuno guna menciptakan pembelajaran sejarah yang baik bermutu, dan sebagai generasi penerus berpikir historis menapak peristiwa masa lalu sebagai pembelajaran masa sekarang agar lebih baik lagi. Dengan kemampuan tersebut, kita akan mendapat pelajaran bahwa kebudayaan bangsa Indonesia, khususnya wilayah Kabupaten Batang itu sudah tinggi. Kebudayaan itu perlu kita jaga dan lestarikan.

DAFTAR PUSTAKA


Departemen Pendidikan dan Kebudayan Batang. 1993/1994. Sejarah Batang Suatu Pendahuluan. Batang : Sekertariat daerah Kabupaten Batang.
Depdikbud. 1976/1977. Sejarah Daerah Jawa Tengah. Semarang : Depdikbud.
Oemar, Moh. . 1995. ‘Sejarah Batang Kuno dan Sekitarnya Studi Wilayah Sejarah Lama’. Lembaran Ilmu Pengetahuan Khusus In Memoriam Lustrum VI IKIP Semarang. Semarang : UPT IKIP Press.
Satari, Soejatmi dkk. 1977. Laporan Hasil Surve Kepurbakalaan di daerah Jawa Tengah Bagian Utara Kabupaten Pekalongan, Batang dan Kendal, Nomer 9. Jakarta : PT. Rora Karya.
Siswanto, Ady. 1986. Data Arsitektur Tradisional Batang. Batang : Depdiknas.
Suhadi, Machi dan MM. Soekarto. 1986. Laporan Epigrafi Jawa Tengah, Nomer 37. Jakarta : CV. Solidaritas Jaya.

Internet
Arsip artikel kabupaten Batang. Dalam http://www.batangkab.go.id/headline/0608.htm (Data tanggal 3 Maret 2007, pukul 22.07 WIB).
Sejarah Batang dan Munculnya Pemerintah Kabupaten Batang. Dalam. http://www.batangkab.go.id/profile/sejarah.htm (Data tanggal 3 Maret 2007, pukul 23.15 WIB).
Wisata budaya. Dalam http://www.batangkab.go.id/pariwisata/Sejarah_Batang.htm (Data tanggal 3 Maret 2007, pukul 23.20 WIB).

Media massa
Koran Wawasan, tanggal terbit 29 Agustus 2006.
Koran Wawasan, tanggal terbit 31 Agustus 2006.
Koran Suara Merdeka, tanggal terbit 19 Agustus 2006.    

TERIMAKASIH

SUMBER REFERENSI : http://butukbuwangalhafizh.blogspot.co.id